Her Story: Sahabatku Selingkuhan Suamiku
- Post AuthorBy Peran Perempuan
- Post DateSat Aug 19 2017
Dear, Story…
Saya pernah berpikir bahwa mengakhiri kehidupan adalah jalan keluar terbaik. Kehidupan gemilang yang saya alami dalam seketika menjadi neraka yang tak pernah sekalipun saya bayangkan. Saya merasakan kejatuhan yang terdalam. Namun kemudian saya sadar, anak-anak membutuhkan saya.
Berawal dari sebuah penemuan tak terduga pada tahun 2015 lalu. Saya mendapati salah satu handphone suami saya tertinggal di kamar ketika ia pergi ke kantor. Isi pesan yang cukup mengerikan membuat jantung saya seakan berhenti berdetak.
Della (bukan nama sebenarnya) perempuan yang tak lain adalah sahabat saya. Kami teman kuliah, kami berbagi ranjang saat kuliah, bertukar makanan dalam piring yang sama, bertukar baju ketika ia menginap di rumah, bisa dibilang, kami sangatlah dekat.
Saya menikah dengan dengan suami saya, Rian (bukan nama sebenarnya) pada bulan Agustus 2010. Anak pertama kami lahir pada September 2011, dan anak kedua kami lahir pada Agustus 2013. Kami pacaran sejak 2006, hubungan saya dengan suami sangatlah romantis, tidak ada kecurigaan secuilpun dalam benak saya. Atau saya yang tidak peka dan terlalu bodoh.
Ketika kami pacaran, Della dan pacarnya selalu saya perkenankan pergi bersama kami. Karena saya sangat dekat dengannya, oleh karenanya, Rianpun juga kenal akrab dengan Della dan pacarnya kala itu. Kami hampir selalu pergi berempat. Baik nonton, belanja baju, makan, dan melakukan kegiatan lain yang menyenangkan.
Saya tak melihat sedikitpun ada yang aneh terhadap hubungan Della dan Rian. Semua terlihat wajar-wajar saja.
Della terlebih dahulu menikah dengan pacarnya pada 2009. Dalam pernikahanya ia belum dikaruniai anak. Dengan alasan sudah tak cocok lagi, keduanya memutuskan bercerai pada 2013. Saya lupa bulannya.
Dalam kegalauannya, saya menjadi sahabat yang selalu menjaga dan menghiburnya. Seringkali saya mengajak Della menginap di rumah saya supaya ia tak merasa kesepian dalam kesendirian. Kesedihan Della karena perceraiannya, menjadi kesedihan saya. Ketika kami berlibur, Della saya ajak serta.
Terkadang jika mengingat kenangan bersama Della, saya mengutuki diri saya yang terlalu baik terhadapnya. Saya terlalu bodoh menjadi perempuan.
Saya bukanlah malaikat, sehingga hati saya membencinya.
Della adalah perempuan yang berkirim pesan mesra dengan suami saya. History chat yang belum dihapus dalam pesan Whatsapp suami saya, membuka mata saya. Suami saya memangilnya ‘honey’ dan Della memanggil suami saya ‘Boo.’
Berulang kali mereka terbaca sering janjian bertemu. Caffe X di dekat kantor Della rupanya menjadi tempat mereka sering melepas kangen. Apartement Della rupanya menjadi tempat mereka melepas… saya tak sanggup membayangkannya.
Dalam pesan tersebut, keduanya juga saling bertukar foto menjijikan.
Dunia saya seakan runtuh di hari itu. Saya tak sanggup menangis. Hanya kemarahan, sesak, sakit di dada, dan penyesalan yang campur aduk mengoyak hati saya. Saya mematung dan duduk lemas di kamar saya. Anak saya yang menangis karena suatu hal bahkan tak saya hiraukan.
Saya sibuk menyalahkan diri saya. Saya yang mungkin tidak sempurna untuk Rian. Saya yang mungkin terlalu baik untuk Della. Saya yang tidak secantik Della. Dan lain sebagainya. Segalanya berkecamuk.
Untuk menelepon suami sayapun, tak ada kekuatan, dan lagi saya bingung mamemulai dari mana.
Saya merenung dan melamun seharian. Sekuat tenaga, saya mencoba menahan diri untuk tidak mendatangi Della maupun suami saya. Saya butuh penjelasan, tetapi saya berpikir, jika semua penjelasan hanya akan menambah sakit, maka saya belum siap. Beruntung asisten rumah tangga saya cukup membantu menjaga anak-anak saya ketika itu. Saya mengontrol emosi saya supaya tak terlihat oleh anak-anak saya. Saya berpura-pura tak enak badan, saya tak ingin diganggu. Saya menguatkan diri dan menyiapkan diri.
Petang hari Rian pulang. Ia masuk ke kamar dan mendatangi saya, memegang dahi saya. Rupanya ia tahu saya tak enak badan dari asisten rumah tangga kami. Ia masih seperti biasa. Kemesraannya masih stabil. Tak ada yang berubah dari perilakunya. Saya kemudian berpikir bukan saya yang bodoh, tapi ia yang cerdik.
Saya duduk di tepi ranjang, handponenya ada di belakang saya. Bergetar saya memberanikan diri.
Saya bertanya tentang isi whatappnya. Saya bertanya tentang hubunganya dengan sahabat saya. Di luar dugaan, Rian mengakui semuanya. Saya berharap dia menyangkal, supaya ada alasan saya meluapkan emosi saya terhadapnya.
Ia mengakui sudah 1 tahun menjalin perselingkuhan dengan Della. Melihat saya yang diam, ia meminta ampun, berpasrah kepada saya. Meminta saya memukulinya. Meminta saya tidak menceraikannya. Memohon maaf tak akan mengulanginya. Saya terus diam. Hati saya membatu. Cinta mati saya, membeku. Tak terbayangkan keadaan saat itu. Menangispun saya tak sanggup. Rianlah yang menangis di kaki saya.
Saya mengangkat bahunya, menyuruhnya berdiri. Kata-kata saya saat itu “Tingalkan saya…, sekarang juga!”
Ia masih memohon, tapi saya bergeming. Kemudian ia meninggalkan kamar. Tak lama saya dengar ia menyalakan mobil dan pergi.
Baru kemudian saya menangis sejadi-jadinya. Saya memukul-mukul bantal di atas ranjang kami. Inilah akhir dari kisah romantis kami. Saya bukan malaikat yang mampu mengampuni kesalahan-kesalahannya.
Tak ada niat untuk melabrak Della. Tak ada niat saya untuk mempermalukan keduanya. Tak ada niat untuk meminta Rian berhenti berselingkuh dengan Della dan menerima ia kembali bersama saya. Saya bukan malaikat. Bagi saya, perselingkuhan suka sama suka bukanlah yang sanggup saya kendalikan. Mereka tak akan pernah berhenti meski saya minta berhenti. Layaknya narkoba, pecandu mengkonsumsi atas dasar suka. Bagaimanapun polisi menangkap sang pemakai, jika ia tak ada niat berhenti, maka percuma saja.
Minggu-minggu pertama saya merasakan kesedihan yang teramat dalam, dunia saya seakan runtuh. Saya tak tau harus menyampaikan apa kepada keluarga besar saya. Saya berniat mengakhiri hidup dalam fase kejatuhan tersebut. Saya tak memiliki penghasilan, karena setengah tahun belakangan saya keluar dari pekerjaan saya. Sedangkan saya harus menghidupi anak-anak saya.
Saya menangis membayangkan masa depan saya yang kosong.
Satu-satunya orang yang bisa saya ajak bicara adalah asisten rumah tangga saya. Saya berterus terang kepadanya tentang keadaan kami. Bahkan niat saya mengakhiri hidup saya utarakan kepadanya sambil kami menangis berpelukan. Ia mengingatkan saya akan anak-anak kami yang lucu. Ia mengingatkan saya akan keberadaan Tuhan, yang mana telah lama saya tinggalkan. Ia mengingatkan saya tentang keluarga saya, mama-papa dan kakak-kakak saya.
Pada akhirnya anak-anak dan keluarga adalah kekuatan terbesar yang saya miliki. Ketakutan saya untuk berterus terang adalah kesalahan yang saya bangun sendiri. Ketakutan akan penghakiman adalah kesalahan yang saya bangun dan menjadi keparanoidan dalam kepala saya. Takut malu, adalah kesalahan terbesar berikutnya.
Saya akhirnya merobohkan ketakutan-ketakutan itu menjadi sebuah kenekadan. Pada awalnya saya bercerita ke kakak saya yang paling dekat melalui telepon. Saya kira dia akan menghakimi saya. Nyatanya dia malah menangis. Kemudian malamnya ia datang bersama mama-papa saya. Orang tua saya bahkan tak mau mendengar cerita ulang dari saya. Baginya mendengar dari kakak saya sudahlah cukup. Saya pikir mereka tak mau lagi membuat saya bersedih. Mama saya menangis memeluk saya.
Papa saya berkata ketika saya meminta pendapat, “Ikuti kata hatimu… Kamulah yang akan menjalani hidup. Keputusan ada di tangan kamu. Apapun keputusanya mama-papa mendukung. Jangan khawatir tentang masa depan seandainya kamu memutuskan bercerai. Kami akan selalu ada untuk kamu dan anak-anak.”
Pada akhirnya saya mantap bercerai setelah mendapatkan kekuatan dari keluarga saya.
Keputusan yang berat, tetapi dibanding kembali hidup bersama Rian kemudian membayangkan perselingkuhannya dengan sahabat saya setiap hari, maka saya memilih hidup terbebas dari bayangan menyakitkan. Mungkin jika saya menerima Rian kembali, nanti pertengkaran-pertengkaran karena kecurigaan saya akan menghiasi rumah tangga kami, saya tidak mau menjalani hidup semacam itu. Tidak sehat untuk saya, maupun perkembangan psikis anak-anak kami.
Dua tahun prahara itu telah berlalu. Saya tidak peduli bagaimana hubungan Della dan Rian selanjutnya.
Saya telah kembali bekerja di perusahaan lama saya.
Saya hanya berpikir menjalani hidup sebagai orang tua tunggal bersama anak-anak dengan bahagia. Sebagai ibu, saya tidak akan menjadi ibu yang egois. Oleh karenanya, saya membebaskan Rian menemui anak-anak kami. Tanpa dendam. Bagaimanapun juga, dia adalah ayah biologis dari anak-anak kami. Rasa kesal pasti ada, tapi saya menyingkirkan perasaan pribadi saya demi anak-anak.
PR terbesar saya sebagai seorang ibu adalah bagaimana saya menjelaskan kondisi saya dan ayahnya. Awal perpisahan, yang bertanya si sulung, mengapa ayah tidak tinggal bersama kami. Sebisa-bisanya saya memberikan pengertian, bahwa ayah tidak bisa lagi tinggal bersama kami, tapi kalau mau main dan kangen sama ayah, ayah bisa datang dan jemput. Seiring waktu berjalan, rupanya mereka telah terbiasa tanpa ayahnya. Pertanyaan-pertanyaan serupa tak lagi terlontar.
Saya juga tak ingin menjauhkan mereka dari ayahnya, terkadang sayalah yang bertanya ke anak-anak, apakah kalian mau pergi sama ayah? Apa kalian mau main sama ayah? Dan saya meminta Rian untuk menjemput.
Saya tidak menutup jalan komunikasi anak-anak dengan ayahnya. Salah besar jika saya melakukannya demi keegoisan saya.
Terkadang kita harus jatuh sejatuh-jatuhnya hanya untuk merasakan bahwa masih ada orang yang menyayangi kita.
Renita
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)