Skip to main content
Categories
Her StoryKehidupan

His Story: Harapan Seorang Gay yang Positif HIV

“Im gay and HIV (+).”

Saya tidak bisa membayangkan jika seorang lelaki yang saya cintai, yang sudah berkomitmen untuk menjalani hubungan ke jenjang yang serius, bahkan berencana menikahi saya tahun depan mendadak melontarkan kalimat seperti yang tertulis di atas.

Bukan…, bukan saya. Tetapi ada seorang perempuan yang akan benar-benar mendengar pengakuan semacam itu dari kekasihnya. Saya tak mengenal perempuan itu. Tapi saya mengenal baik sang lelaki, yang kepada peran perempuan dia menumpahkan segala kegelisahannya.

Berikut penuturannya :

Perkenalkan, saya Sam. Dua puluh tujuh tahun. Saya tidak ingat kapan dan bagaimana saya menjadi gay. Yang saya tahu, saya tidak pernah memiliki hasrat atau ketertarikan seksual sedikit pun kepada perempuan, secantik apapun dia.

Di mata keluarga dan teman-teman, saya adalah potret anak baik-baik. Rajin dan punya otak yang tidak bodoh-bodoh amat. Saya lulusan psikologi sebuah universitas di Jogja, dan sekarang bekerja di kota lain.

Namun di balik apa yang terlihat, saya menjalani kehidupan yang buruk dengan sesama laki-laki. Tidak perlu dijelaskan detailnya, yang jelas saya sampai terjangkit HIV. Positif.

Hidup saya hancur di dalam, meski tak satupun anggota keluarga yang mengetahui. Saya depresi, merasa kotor dan tidak punya harapan lagi. Puncaknya, pacar saya akhirnya memutuskan menikah dengan perempuan lain. Kami berpisah dan saya benar-benar sendirian.

Saya terpuruk. Saya berada di titik terendah dalam hidup. Namun sisi lain yang patut disyukuri, justru di sanalah menjadi titik balik pertobatan saya. Ya. Saya menyadari dosa-dosa saya. Saya menangis dan mengemis ampunan dari-Nya. Bertobat sungguh-sungguh dan berkomitmen untuk meninggalkan segenap kehidupan saya sebelumnya, untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Bagian yang paling berat adalah berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu. Butuh waktu bertahun-tahun dalam prosesnya. Tapi toh akhirnya saya bisa memaafkan diri sendiri, dan mulai menyayanginya. Saya menjalani pola hidup sehat dan rutin mengonsumsi obat agar virus dalam tubuh saya bisa terus tidur.

Dan …
Di saat inilah, seorang perempuan mendadak hadir dalam hidup saya. Seseorang dari masa lalu yang sudah 8 tahun putus kontak. Adik kelas semasa SMA dimana kami pernah ada di ekskul yang sama.

Bohong jika saya katakan saya tertarik secara fisik atau seksual terhadapnya. Tidak. Saya masih belum bisa mencintai perempuan seperti saya mencintai sesama lelaki. Orientasi seksual tak bisa diubah segampang itu.

Namun yang ingin saya katakan adalah, perempuan ini sungguh berbeda. Segala tentangnya terasa begitu … indah. Sesuatu dalam diri saya bergejolak, yang tidak pernah saya rasakan pada perempuan mana pun sebelum ini. Ada hasrat untuk melindunginya, menyayanginya sepenuh hati, bahkan ingin menghabiskan sisa umur ini hanya bersamanya. Saya sungguh-sungguh ingin menikahinya, karena percaya … bersama dia saya akan menjadi seseorang yang jauh lebih baik.

Saat ini, saya dalam proses ta’aruf dengannya. Dan berencana menikahinya tahun depan. Namun saya tahu, saya masih punya PR yang harus diselesaikan sebelum saat itu tiba : Pengakuan.

Ya. Saya tahu ini akan menjadi sesuatu yang sangat berat bahkan berisiko. Tak hanya bagi saya, pasti juga baginya. Namun akan menjadi sangat tidak adil jika dia tak diberitahu tentang kenyataan terkait diri saya yang sebenarnya.

Benar. Setelah tahu –terlebih dengan diri saya yang penyakitan ini–, mungkin perempuan ini tak hanya akan syok. Dia juga akan sangat terluka atau bahkan mungkin berbalik jijik pada saya.

Itu haknya. Jauh di lubuk hati, saya juga menyadari bahwa saya bukanlah lelaki yang pantas untuknya. Dia berhak memilih hidup bahagia bersama laki-laki lain yang jauh lebih menjamin kebahagiannya, atau setidaknya tidak akan menulari dia, atau anak-anaknya dengan virus berbahaya ini.

Saya tidak akan menipunya. Berpura-pura bahwa saya adalah lelaki sempurna, dan baru terbongkar setelah kami sah menjadi suami istri? Tidak! Saya tidak mau hal itu terjadi. Jika Tuhan izinkan kami sampai bersanding di pelaminan, saya pastikan dia sudah tahu tentang penyakit saya ini.

Meski kemungkinan dia akan tetap menerima saya akan sangat kecil, saya tak akan membiarkan asa ini lenyap. Karena masih ada Tuhan yang berkuasa membolak-balikkan hati manusia.

Mungkin pembaca di sini, yang mayoritas perempuan, tidak akan membiarkan dia menerima pria yang penuh kekurangan seperti ini. Namun ketahuilah, saya sungguh-sungguh menyesal dengan apa yang terjadi di masa lalu saya. Saya berjanji tidak akan kembali pada kehidupan yang lama itu. Saya ingin punya hidup yang lebih baik bersamanya …

Maukah kalian berdoa untuk saya?
Kalaupun tidak untuk doa agar bisa bersatu dengannya, setidaknya tolong doakanlah saya –manusia lemah dan berdosa ini– agar kuat menghadapi apapun yang terjadi dalam kehidupan saya setelah ini.

Salam.
Sam.


Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends