Skip to main content
Categories
BeritaHukum

Komnas Perempuan: Ada 5 Potensi Kriminalisasi Terhadap Korban Kekerasan di RKUHP

Sehubungan banyak tweeps atau followers twitter yang menanyakan tentang bahaya dan potensi kriminalisasi di pasal 484 tentang zina (overspel) di RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Komnas Perempuan melalui akun twitter @KomnasPerempuan (01/02/2018) membahas secara live alasan kenapa perluasan makna zina harus ditolak.

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, pasal 284 KUHP mengatur tentang Zina atau overspel yang dalam bahasa Belanda berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan, di mana terjadi persetubuhan yang dilakukan oleh mereka yang sudah menikah. Dalam RKUHP yang sedang dibahas di DPR saat ini makna zina rencananya akan diperluas dari yang sebelumnya terbatas pada orang yang sudah menikah, menjadi kepada siapa saja (fornication).

Selain perluasan makna zina, hal lain yang direncanakan berubah adalah, jika di pasal 284 KUHP, yang bisa mengadu adalah pasangan suami/istri, sedangkan di pasal 484 RKUHP yang bisa mengadu adalah “pihak ketiga yang tercemar”. Frasa “pihak ketiga yang tercemar” tersebut sangat multitafsir.

Menurut Komnas Perempuan, jika makna zina ini benar-benar diperluas seperti pada pasal 484 yang tercantum dalam RKUHP dan disahkan, setidaknya akan ada 5 dampak yang membahayakan para perempuan Indonesia.

Dampak pertama adalah akan adanya kriminalisasi terhadap korban perkosaan. Menurut pola yang ditemukan Komnas Perempuan dari sejumlah kasus perkosaan yang dipantaunya, kejahatan perkosaan yang selama ini sulit dibuktikan (salah satunya karena hilangnya bukti-bukti) akan membuahkan tuduhan zina kepada perempuan korban. Selain itu, pelaku dapat mendalilkan perkosaan tersebut sebagai tindakan suka sama suka.

Dampak yang kedua adalah potensi kriminalisasi terhadap anak yang terpapar hubungan seksual, sebagai akibat dari kegagalan pengasuhan dalam rumah tangga dan kegagalan sistemik pendidikan nasional. Kegagalan yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang dewasa tidak boleh dibebankan pada anak.

Dampak yang ketiga adalah potensi kriminalisasi terhadap pasangan suami istri yang karena satu dan lain hal, perkawinannya tidak diakui oleh negara, misalnya penganut agama leluhur/penghayat kepercayaan atau penganut keyakinan lain yang “tidak diakui” oleh negara. Selain itu, kelompok yang rentan lainnya adalah pasangan yang tinggal di daerah terpencil, terluar, dan terdepan di Indonesia yang sering kesulitan untuk mendapatkan akses layanan pemerintah, termasuk untuk mendapatkan dokumen pernikahan.

Dampak keempat adalah RKUHP ini berpotensi menciptakan ketegangan sosial berupa penyebaran fitnah. Ketentuan pasal ini memungkinkan “pihak ketiga yang tercemar” untuk melaporkan perbuatan zina dan akan memungkinkan berbagai macam orang untuk turut mencampuri urusan pribadi orang lain. RKUHP ini memiliki potensi signifikan untuk disalahgunakan di antaranya oleh orang-orang yang memiliki keluhan pribadi, keluarga atau masyarakat terhadap seseorang yang diduga telah melanggar ketentuan ini.

Dampak kelima dari RKUHP ini adalah berpotensi terjadinya penggrebekan atau tindakan sweeping secara semena-mena atas tuduhan zina oleh siapapun yang menganggap dirinya sebagai pihak ketiga yang tercemar.

Atas semua potensi bahaya yang dipaparkannya, selain menyarankan kepada DPR RI agar pasal 484 ayat 1 huruf e, dan pasal 484 ayat 2 RKUHP dihapus saja, Komnas Perempuan juga mengajak semua orang untuk menandatangani petisi “Tolak RKUHP yang Mengkriminalisasi Perempuan, Anak, Masyarakat Adat dan Kelompok Marjinal” yang dibagikan dengan hastag #SayaJugaBisaMenjadiKorban sebagai bukti penolakan terhadap RKUHP terutama pasal 484 yang sudah jelas berpotensi kriminalisasi terhadap perempuan.


Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends