Skip to main content
Categories
BeritaBudayaMedia Sosial

Merdeka Berpikir, Bukan Bebas Berpikir Ngawur

Penulis: Rea Lisha

Mengomentari sikap dan perilaku orang lain adalah hal paling mudah. Dari komentar ngawur sampai yang terukur. Itulah sebabnya Facebook riuh sepanjang hari setiap waktu. Sudah menjadi ciri orang Indonesia secara umum suka berkumpul dan ngobrol. Hal tersebut juga tergambar dalam laporan riset We Are Social dan Hootsuite bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-4 (setelah Amerika Serikat, India, dan Brazil) dengan pengguna Facebook paling aktif.

Betapa merdekanya warga internet Indonesia. Apa saja dikomentari. Dari mulai memberikan apresiasi positif atau mencibir kebijakan pemerintah, tingkah polah wakil rakyat yang kadang seperti menyediakan diri untuk layak ditertawakan. Sampah informasi berupa hoax atau berita palsu bertebaran seiring arus informasi yang terbuka seluas-luasnya. Netizen yang cinta tanah air biasanya terpanggil untuk meluruskan berita palsu itu sebelum memancing keributan yang tidak perlu.

Apa yang terjadi di Facebook dan internet secara umum mencerminkan pola pikir masyarakat Indonesia yang dominan emosional. Kekalahan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI sudah membuktikan bagaimana tingkat kepuasan warga DKI atas kinerjanya tidak sejalan dengan tingkat keterpilihannya. Sebuah ironi, dunia semakin terbuka, pikiran semakin tertutup. Merupakan tantangan bagaimana menjadi warga negara Indonesia untuk tetap waras di tengah dunia yang gaduh. Tak boleh bosan mengingatkan bahwa negara ini dijalankan dengan instrumen Pancasila dan UUD 1945, bukan kitab suci agama mana pun, agar masyarakat menjadi rasional dalam memilih pejabat publik.

Sangat banyak indikasi betapa emosionalnya masyarakat Indonesia. Pembakaran seorang pria di Bekasi yang diduga mencuri amplifier di mushala mengkonfirmasi hal itu. Agama seperti tidak bekerja, tidak berfungsi, karena sering kali agama hanya menempati porsi ritual dalam tatanan kognitif namun gagal mencapai penghayatan rasa dan perilaku.

“Masyarakat Indonesia telah berkembang menjadi masyarakat yang emosional, tidak sabar, tidak terbiasa melakukan cross check dan gagal mengendalikan dorongan dari dalam diri karena keterbatasan kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Sosial (IES). Dengan kecerdasan IES yang rendah, perilaku mereka menjadi pendek akal, temperamen dan mudah disulut. Dengan kondisi seperti itu masyarakat menjadi semakin mudah terpicu dengan provokasi, baik secara makro maupun mikro. Makro berupa tayangan-tayangan yang mengandung kekerasan tentang main hakim sendiri baik media formal maupun informal. Sementara mikro berupa provokasi tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat,” tutur psikolog Kasandra Putranto.

Pola pikir masyarakat saat ini yang terekam di internet turut menentukan wajah Indonesia 10 sampai 20 tahun yang akan datang. Apalagi generasi milenial sudah mulai meninggalkan televisi, dan menjadikan internet sebagai sumber utama informasi. Begitu bangun tidur, mereka membuka ponsel, terhubung dengan internet.

Presiden Joko Widodo memberikan perhatian khusus pada generasi yang lahir tahun 1980 sampai 2000 itu. Seperti pada Jumat malam 11 Agustus 2017 ia secara spontan datang ke festival musik We The Fest yang sedang popular di kalangan milenial.

“Kita harus melihat bagaimana itu anak-anak muda, generasi milenial kita. Untuk apa? Supaya nanti kami bisa mempersiapkan kebijakan ke depan. Kalau kita tidak tahu, mana bisa kami menyiapkan sebuah kebijakan,” ujar Jokowi.

Jadi, kalau melihat orang-orang tua yang pola pikirnya sempit dan kekanak-kanakan di media sosial, menjadi lucu-lucu mengenaskan. Manusia rasis ada di segala zaman, tapi jangan biarkan ia berkembang liar hingga merusak generasi milenial.

Jokowi yang suka berbicara dalam bahasa simbol pada 16 Agustus saat menyampaikan pidato kenegaraan di depan anggota MPR, tampil sarat makna. Ia yang orang Jawa mengenakan busana lelaki Bugis dengan songkak racca, jas tutu’, dan bersarung lipa’ garusu’. Sementara wakil presiden Jusuf Kalla yang asli Bugis muncul ala pria Jawa dengan beskap dan blangkon. Keduanya ingin menekankan jatidiri keIndonesiaan, bukan kesukuan yang kadang dipolitisasi untuk memecah-belah kerukunan bangsa.

Penampilan kedua pemimpin negara itu mendapat apresiasi positif dari warga internet. Begitu pula penampilan mereka pada 17 Agustus. Istana Negara yang biasanya monoton dengan jas saat peringatan kemerdekaan, kali ini terasa hangat dan lebih berwarna dengan ragam busana adat yang dipakai para pemimpin negara. Lihatlah, senang kan melihat foto para pemimpin negara kompak seperti itu? Formasi lengkap dengan kehadiran Presiden BJ Habibie, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Indonesia sudah merdeka selama 72 tahun. Ibarat manusia, itu bukan usia anak-anak, itu usia dewasa. Tapi, kalau melihat pemikiran sebagian masyarakat termasuk orang-orang yang disebut tokoh yang bertebaran di internet, sulit mengatakan Indonesia sudah dewasa.

“Kemerdekaan manusia yang sejati adalah kemerdekaan yang memberi manfaat sebesar-besarnya kepada sesama tanpa diskriminasi rasial, agama, dan latar belakang sejarah,” ucap Buya Syafii Maarif.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends