Peran 3 Perempuan Tangguh Indonesia di Kabinet dalam Divestasi Terumit di Dunia
- Post AuthorBy Peran Perempuan
- Post DateSat Dec 29 2018
Berikut adalah catatan Prof. Rhenald Kasali, pendiri program doktor ilmu strategi Fakultas Ekonomi UI.
Pengalihan mayoritas saham PT Freeport ke BUMN Indonesia dikenal sebagai proses divestasi terumit sepanjang sejarah corporate action.
Selain melibatkan proses politik yang “banyak makan korban”, rentang waktunya panjang sekali, juga kental dengan nuansa strateginya. Termasuk bagaimana eksekutif-eksekutif perempuan Indonesia mengajarkan American Boys agar patuh terhadap hukum Indonesia dan mengubah mindsetnya.
Ceritanya begini. Pertama, Freeport sudah ada di Indonesia sejak 1967 dan harus diakui kontribusinya bagi perekonomian Indonesia sangat besar. Khususnya dalam bidang PMA (Penanaman Modal Asing). Karena berusaha di daerah terpencil, wajar pemerintah memberi banyak kemudahan.
Maklum, Freeport harus bangun infrastruktur serba sendiri, mulai dari pelabuhan, jalan, perumahan karyawan, pembangkit listrik, landasan pesawat terbang, sampai tempat pelatihan untuk masyarakat adat suku setempat.
Namun, sedari awal PT Freeport Indonesia (PT FI) sudah terbiasa berhubungan langsung dengan pucuk pimpinan tertinggi negara Republik Indonesia. Karena itulah setiap keluhan Freeport selalu dilayani Presiden.
Waktu berjalan, cerita berubah. Dengan bantuan badan-badan dunia, Indonesia terus meremajakan diri dan memperkuat kelembagaan dan kualitas SDM-nya. Praktik good governance, gerakan pemberantasan korupsi dan mekanisme korporasi yang sehat terus tumbuh. Sampai di era Presiden Jokowi, PTFI tidak bisa lagi mengikuti cara-cara lama.
Namun di sisi lain Freeport Indonesia juga telah banyak berubah, terutama sejak semakin banyak pimpinan dan SDM puncaknya berasal dari Indonesia.
Tiga perempuan Indonesia itu: Siti Nurbaya (Menteri LHK), Rini Soemarno (Menteri BUMN) dan Sri Mulyani bersama Menteri ESDM Ignasius Jonan pun mengajarkan CEO Amerika untuk patuh terhadap UU yang berlaku di sini.
Mereka meminta PT FI menjalankan janji-janji yang belum dieksekusi setelah deal dengan presiden-presiden di masa lalu. Janji-janji itu diantaranya: divestasi saham dan membangun smelter, lalu beralih dari rejim kontrak karya (Kebijakan tahun 1971) ke rejim IUP menurut UU Minerba No. 4/2009.
Jadi induk Freeport yang berkedudukan di New York dipaksa mengubah mindset. Semudah itukah?
Jaringan CEO Astra
Sekarang kerumitan yang kedua. Kendati dipaksa patuh hukum yang berlaku, CEO dan Vice Chairman Freeport McMoran Copper & Gold Inc, Richard Adkerson, dan tim-nya masih terbiasa dengan gaya pendahulunya Bob Moffet. Bob dikenal enteng menghadap presiden-presiden terdahulu. Karena dealnya dengan presiden, maka bisa ditebak akibatnya.
Ada cerita yang tak diketahui publik, tentang bagaimana Srikandi Indonesia menghadapi Richard Adkerson untuk mengubah mindset-nya. Kalau cerita bagaimana Sri Mulyani menghadapinya, sebagian sudah beredar. Lain kali saya jelaskan. Tapi saya ingin menjelaskan dulu peran Rini yang memang sangat low profile.
Rini memang sempat mendengar sassus bahwa PT FI bisa diambil tanpa bayar pada tahun 2021. Tetapi sebagai mantan CEO Astra Internasional ia tahu persis semua itu omong kosong.
Itu sama Ibaratnya dijanjikan akan mendapatkan iPhone ber-casing emas. Alih-alih Iphone, yang yang tertinggal bisa jadi cuma casingnya saja. Teknologinya pasti dibawa pulang asing. Belum lagi tuntutan-tuntutan hukumnya.
Kalau dibawa ke Mahkamah Agung RI, mungkin kita bisa menangkan. Masalahnya, kasus ini akan dibawa ke ranah arbitrase internasional. Kemungkinan menangnya di bawah 40%. Jadi satu-satunya jalan adalah negosiasi secara rasional agar kita jangan sampai mendapat casing emasnya saja.
Begitulah mengurus korporasi. Ini bukan game gagah-gagahan asal ngomong, melainkan sebuah game logic dan harus penuh perhitungan.
Bagaimana Rini Mengatasinya?
Saya kenal Rini sejak tahun 1999 saat ia kembali ke PT Astra Internasional sebagai CEO. Ia ditugasi mengatasi kerugian sebesar Rp7,3 T yang membuat Astra nyaris bangkrut, Ia pun melakukan restrukturisasi besar-besaran.
Begitu prosesnya selesai, saya diminta memberi penjelasan kepada para investor strategisnya sekaligus meluncurkan logo barunya.
Duduk di sisi kiri saya adalah Kasospol TNI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan di sebelah kanan saya, Dr. Sri Mulyani. Saat itu Sri adalah pengamat ekonomi.
Seingat saya investor gelisah karena harga saham Astra terus anjlok ke sekitar Rp200. Tetapi Rini dan saya menenangkan. Juga SBY dan SMI. Ia meyakinkan bahwa memegang saham Astra harus long term.
Kelak rekomendasi itu tepat adanya. Pada tahun 2010, harga saham Astra Internasional berhasil tembus Rp40.550.
Lantas apa hububgannya dengan Freeport?
Begini, ternyata salah satu investor Astra itu, Capital Research & Management Co hari ini adalah salah satu pemegang saham penting dari Freeport McMoran, di samping Vanguard dan Icahn.
Rini tidak menyia-nyiakan info itu. Apalagi para eksekutif Capital sudah lama mengenal reputasinya. Ia segera mengontak Capital dan berangkat ke New York. Dari portofolionya sebesar USD 100 Miliar, mereka ternyata menguasai portofolio dalam bidang tambang yang cukup besar, sekitar USD 40 B. Bisa dibayangkan betapa takluknya para CEO perusahaan tambang pada investor besar ini.
Singkat cerita Capital pun bekerja dan berhasil menjelaskan kepada publik bahwa Indonesia telah berubah. Indonesia juga mendapatkan rating bagus dari Moody’s and Fitch Group. Di lain pihak Capital sudah lama mendalami siapa-siapa saja CEO yang menjadi pembuat kebijakan di Indonesia sehingga mereka punya harapan positif. Bahkan mereka ikut membeli Global Bond Indonesia.
Selanjutnya apa yang terjadi dengan Adkerson saya tidak tahu persis. Saya mendengar Richard Adkerson menjadi lebih kooperatif.
Jalan terbuka. Saat Indonesia berminat membeli tambahan saham PT FI sebesar 42% (karena sebelumnya sudah menguasai 9%), Richard Adkerson membuka pembicaraan: “Kalian ingin ambil dari yang mana? Dari bagian FCX yang 51%?”
Semua anggota team negosiasi terperangah. Diantaranya ada Kepala BKF, Prof. Suahasil Nasara. “Freeport yang kami tahu punya saham 91%, ternyata mengaku hanya menguasai 51% saja. Jadi kalau Indonesia mengambil 42% mereka akan tinggal 10%,” ujarnya kepada saya.
Mengapa begitu?
Adkerson baru membuka cerita, ternyata, atas seijin Presiden yang dulu dan Menteri Pertambangan pada tahun 1993, mereka diijinkan mengandeng Rio Tinto dalam bentuk Participating Interest (PI) untuk menikmati 40% keuntungan Freeport sebelum dibagi kepada pihak Indonesia.
Freeport beralasan perlu menggandeng Rio Tinto untuk mendapatkan Capex (Capital Expenditure) dan Opex (Operating Expenditure) dalam mengoperasikan tambang itu.
Rombongan pun kembali ke tanah air, memeriksa keberadaan surat yang dimaksud Richard. Surprisingly, tak banyak yang mengetahui dokumen itu. Benar-benar tersembunyi. Setelah ditemukan, mereka harus putar otak lagi. Cari strategi lagi karena persoalan tambah rumit.
Tetapi menurut teman-teman di Kementerian BUMN, terjadi “Mestakung” (semesta mendukung – meminjam istilah pakar Fisika, Yohanes Surya).
Rini memutuskan untuk berangkat lagi menemui CEO Rio Tinto. Mestakungnya, ternyata Rio Tinto justru sedang berkeinginan menjual haknya. Tinto ingin beralih ke tambang lain. Artinya ia bersedia mengalihkan haknya ke Indonesia. Hanya saja Indonesia membutuhkan saham, bukan PI. Indonesia ingin belajar mengelola, memimpin dan berbisnis yang lebih besar. Bukan cuma mencicipi buahnya saja.
Sempat mengganjal sebentar. Tetapi sikap investor sudah positif mendukung Indonesia. Freeport akhirnya mengalihkan hak Rio Tinto itu menjadi saham.
Begitulah cerita-cerita di balik layar. Yang jelas ini benar-benar rumit. Saya belum menceritakan kehebatan lain srikandi-srikandi itu. Insha Allah ke depan saya akan ceritakan strategic briefnya.
Ceritanya masih banyak, tapi saya berhenti dulu di sini. Selamat untuk Srikandi-Srikandi Indonesia yang telah membuat kita lebih dihargai di dunia internasional. Selamat berlibur.
Prof Rhenald Kasali
Pendiri Program Doktor Ilmu Strategi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)