Perempuan Pekerja Migran Indonesia di Hongkong Luncurkan Migran Pos untuk Tangkal Hoax
- Post AuthorBy Peran Perempuan
- Post DateWed May 08 2019
Gelisah dengan dunia pemberitaan dewasa ini yang selalu mementingkan jumlah klik daripada bobot konten dari pemberitaan, Arista Devi bersama rekan-rekannya di Hongkong sesama pekerja migran Indonesia, membangun sebuah media online yang benar-benar memberitakan fakta di lapangan bukan sekedar desas-desus semata.
Nama Migran Pos dipilihnya karena mewakili apa yang akan termuat dalam media tersebut.
“Menurut saya dua kata itu mewakili tujuan dan misi kami kenapa membuat media baru. Pos (Informasi/Berita/cerita/dsb.) dari migran untuk migran,” tutur Arista yang sebelumnya menjadi korntibutor tetap peranperempuan.id
Berikut ini cerita Arista Devi di balik hadirnya Migran Pos hingga mulai mewarnai khazanah media online yang lahir dari para Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Hongkong.
Bagaimana sih awalnya Migran Pos ini diluncurkan?
Marak sekali portal online dan media yang mengaku ‘media informasi’ tapi ternyata kontennya hanya mengejar klik dan viewer saja, tidak peduli hoax atau sampah, yang penting ramai.
Sementara teman-teman PMI sendiri belum paham cara membedakan antara mana informasi, berita Dan hoax. Jadi kepikiran aja buat menyajikan informasi dan berita yang perlu diketahui teman-teman PMI tanpa dibebani ambisi klik.
Intinya sih pingin menolak dan perang melawan hoax dengan cara menyediakan informasi dan berita anti hoax.
Siapa nih yang men-support Migran Pos?
Sementara ini belum ada yang support, kami sekumpulan orang nekat yang nggak dibayar. Awalnya kami kontributor media yang sudah besar di Hongkong. Karena kami merasa media tempat kami mendapatkan ‘uang jajan’ itu sudah tidak menampung idealisme kami lagi, kami keluar dari situ.
Jadi kami mulai dari nol. Sampai saat ini belum ada duit, blas. Web dan domain disumbang editor sekaligus guru kami sih.
Sekarang ini tim inti ada 4, tim training ada 3, lainnya baru akan mulai magang. Tim Redaksi terdiri dari admin dan editor, yaitu Ario Adityo dan Yuli Riswati (Arista Devi). Tim untuk desk pemberitaan ada Terenia Puspita, Anis Safitri, Heni W.
Jadi kami merekrut sekaligus mengajari teman-teman. Kami nggak mau instant. Tapi semuanya gratis.
Kami rekrutmen secara jujur, bahwa saat ini MP (Migran Pos) belum ada uang. Kami terbuka begitu.
Migran Pos dirilis pada tanggal 8 Maret, persis saat Hari Perempuan Sedunia.
Terkadang kami menerima juga kontribusi tulisan dari mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Hong Kong.
Apa idealisme yang dibawa oleh Migran Pos?
Secara idealisme, Kami ingin menjadi pos penjaga, Migran Pos menjadi penjaga etika jurnalistik, yang selama ini sudah (kerap, red.) dibuang dan diabaikan portal media yang mengatasnamakan Migran atau BMI.
Tapi ‘nyesek’nya kalau berita kami dicopas atau diketik ulang oleh portal media lainnya, tanpa mencantumkan sumber berita asli dari kami.
Bagaimana awal menggeluti bidang media/jurnalistik?
Ceritanya gimana ya? Pastinya nggak mendadak sih. Prosesnya setapak demi setapak. Diawali dari hobby membaca kemudian menemukan banyak hal yang saya pikir nggak adil dalam pemberitaan. Misalnya faktanya begini, ditulisnya di koran atau media kok begitu.
Dari situ saya mulai belajar menulis berita sesuai fakta untuk yang bisa diberitakan, untuk yang nggak ya cukup, saya tulis dalam bentuk fiksi.
Untuk menulis tentunya butuh waktu, sementara waktu saya terbatas, untuk membantu diri sendiri menyimpan memory, ide, berita, cerita dan lain-lain agar bisa saya tulis ketika sudah ada waktu. Saya mulai belajar fotografi. Dua-duanya saya pelajari setapak demi setapak, dan sampai sekarang masih terus belajar. Masih merasa belum ada apa-apanya.
Belajar nulis berita pertama di mana?
‘Nyetatus’ di FB.
Kan (kadang, red.) baca berita nggak benar, gitu. Lalu dalam hati bilang, ‘nggak bener nih kayak gini,’ saya tahu aslinya gimana, kemudian ‘nyetatus’ sebenarnya gimana.
Mungkin karena saya hobby baca dan baca apa saja termasuk berita, jadi ya secara otodidak saja begitu.
Akhirnya suatu kali posting saya di medsos FB diminta orang. “Saya ijin ambil tulisan kamu buat media ini ya?” Kemudian saya dihubungi media diminta jadi kontributor di media tersebut. Itu 6 tahun yang lalu.
Di situ saya berproses, liputan, menulis, liputan, menulis.
Lalu media lain ada yang menghubungi saya. Ditanya apakah berminat untuk menjadi kontributor di medianya. Ya sudah saya mau bergabung. Saya tahu saya butuh platform. Butuh tempat bersuara.
Hingga Maret kemarin saya keluar dari media tersebut, buat Migran Pos.
Alhamdulillah pada momen Pemilu 2019 lalu, MP dikasih akses liputan dari panitia penyelenggara Pemilu 2019 di Hongkong. Padahal beberapa portal online lain ditolak.
Itulah penuturan Arista Devi yang sudah 11 tahun tinggal di Hongkong sebagai Pekerja Migran Indonesia. Selama itu ia menjalani kehidupan di negeri orang bak roller coaster. Kehidupan di Hongkong terutama buat pekerja migran di sektor rumah tangga adalah perjuangan 24 jam. Tak seindah foto profile atau postingan FB.
Hingga kini pergulatannya di bidang media dikerjakan sambil tetap menjadi Pekerja Migran Rumah Tangga.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)