Potret Sejarah Perjuangan Ulama Kibarkan Merah Putih di Atas Kubah Masjid
- Post AuthorBy Peran Perempuan
- Post DateFri Mar 01 2019
Kemarin, 28 Februari 2018, redaksi diajak 3 emak-emak yang mengunjungi salah satu masjid tertua di Jakarta. Yaitu Masjid Jami Al Mansur. Masjid ini sudah menjadi cagar budaya berdasarkan SK Mendikbud tahun 1988. Masjid yang terletak di Jalan Sawah Lio, Kelurahan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat ini dulunya bernama Masjid Jami Kampung Sawah.
Dalam buku ‘Masjid-Masjid Bersejarah di Jakarta’ Terbitan Erlangga halaman 66 disebutkan bahwa Raden Abdul Mihit yang juga disebut Pangeran Cakrajaya Adiningrat ini mendirikan masjid pertamanya di abad 18, yaitu pada tahun 1717 M (1130 Hijriyah).
Sumber lain mengatakan Abdul Malik, putera dari Pangeran Cakrajaya yang merintis pembangunan Masjid Kampung Sawah. Kemudian pada tahun 1767, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Banjarmasin yang singgah di masjid ini setelah kembali dari Mekkah, memperbaiki letak mihrab masjid dan melakukan pembetulan arah kiblat masjid.
Kemudian pada tahun 1937, KH. Muhammad Mansur bin H. Imam Muhammad Damiri mengadakan perluasan bangunan masjid, serta penambahan pagar-pagar dan tembok untuk menjaga terpeliharanya kesucian bangunan utama masjid dan komplek pemakaman di sekitar masjid.
Pada masa-masa perjuangan kemerdekaan RI, masjid ini digunakan oleh KH. Muhammad Mansur sebagai basis pejuang sekitar Tambora dalam menyusun strategi dan juga memantapkan mental untuk melawan penjajah. Bahkan, pernah terjadi baku tembak secara langsung di depan masjid ini, dimana para pejuang RI berlindung di masjid. Sementara tentara NICA baru datang dari Pelabuhan Sunda Kelapa lalu menuju daerah Kota dan menyebar ke sekitar Tambora.
Baku tembak tersebut dipicu oleh tindakan frontal dan berani dari KH. Muhammad Mansur yang mengibarkan Sang Merah Putih di atas kubah menara masjid. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1947. Saat itu masjid dikepung dan ditembaki serdadu NICA. KH Muhammad Mansur akhirnya ditangkap dan digiring ke Hoofdbureau (Polsek).
KH Muhammad Mansur meninggal pada 12 Mei 1967. Setelah beliau wafat, kepengurusan masjid ini dilanjutkan oleh Badan Panitia Kepengurusan Masjid Jami’ Al-Mansur hingga saat ini. Sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan dan keberanian KH. Muhammad Mansur, pemerintah RI (setelah merdeka) kemudian mengadopsi nama beliau sebagai nama masjid tempat beliau berjuang dan mati secara syahid mempertahankan Islam dan Kemerdekaan.
KH. Mohammad Mansur dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1878, di Sawah Lio. Ia merupakan keturunan dari Kerajaan Mataram di masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593-1645).
Guru adalah julukan yang diberikan orang-orang Betawi terhadap KH. Muhammad Mansur yang diakui kepakaran dan kedalaman ilmunya, sehingga diakui otoritasnya untuk mengeluarkan fatwa.
Arsitektur dari Masjid Jami’ Al-Mansur merupakan gabungan dari berbagai macam gaya budaya seperti Jawa, Betawi, China dan Arab. Masjid ini memiliki atap joglo limas dengan dua tingkat lantai, serta ditopang oleh 4 pilar berdiameter 1,5 meter.
Budaya Jawa pada 4 besar pilarnya yang disebut sebagai soko guru. Budaya Betawi dari atap limas. Budaya Tionghoa pada bagian ornamen. Budaya Arab tentu saja terlihat dari berbagai kaligrafi yang terpasang.
Ruangan utama tempat sholat pada masjid ini berdenah segi empat, dengan 4 soko guru sebagai penopangnya. Filosofinya, bahwa masjid adalah sebuah rumah ibadah yang tak terlepas daripada cerminan empat aliran mazhab yang dianut ahlus sunnah wal jama’ah. Di antarnya Imam Syafii, Hanafi, Malik dan Imam Hambali.
Tahun ‘60-an masjid yang berlokasi di salah satu kecamatan terpadat se-Indonesia bahkan se-Asia Tenggara, ini dipugar.
Dua tahun lalu, sekitar tanggal 21-22 Februari 2017, masjid terendam banjir setinggi 60 sentimeter. Itu sebabnya pilar-pilar soko guru masjid tingginya sudah terlihat lebih pendek. Karena lantai dasar dari masjid ini sudah ditinggikan.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)