Skip to main content
Categories
Her Story

“Semarahnya Aku, tetap Membutuhkan Ibu”

Tiba-tiba Naya menelpon saya dan memberitahukan bahwa dia sedang di rumah makan. Saya pun bergegas meninggalkan GOR dan menyusul Naya. Meskipun persahabatan kami baru terjalin saat awal semester tua yang disibukkan skripsi, namun kami sudah merasa bersahabat lama. Bahkan bisa dibilang layaknya kakak dan adik.

Sampai di rumah makan, saya terkejut melihat Naya. Dia sudah berganti pakaian dan terlihat masih ada sisa make up di wajahnya. Saya tidak melihat keluarganya, namun hanya ada beberapa teman yang sedang makan bersamanya.

Saya tahu raut wajahnya menyembunyikan sesuatu. Dia melambaikan tangan ke arah saya. Kemudian, kami berpelukan dan saya ucapkan selamat. Ada segumpal guratan sedih yang Naya sembunyikan, namun dia berusaha menutupinya. Mengajak kami semua makan dan bercanda.

Setelah acara makan bersama usai, teman-teman Naya pamit. Kemudian, dia mengajak saya jalan-jalan ke mall yang ternama di kota itu. Kami memang dekat dan sering bersama saat masih satu kos. Namun, setelah saya lulus dan kembali ke rumah, kami hanya bisa berkabar via aplikasi chat.

Naik ke lantai 3, di mushola, menjelang magrib barulah semua terbongkar, tumpah ruah jadi satu. Kami duduk di tempat tunggu yang agak sepi. Naya menangis sejadinya dihadapanku. Dia menceritakan bahwa wisuda hari ini tidak ada yang spesial. Saya hanya bisa menahan kata, turut berkaca.

Yang Naya inginkan, ibu datang di acara wisudanya. Memang beberapa hari sebelum hari H Naya menceritakan perdebatan itu. Apalah arti wisuda, kalau semangatku saja enggan berkunjung.

Dan benar, di hari wisuda Naya tidak didampingi ibunya. Hanya ada adik dan ayah. Itupun, mereka tidak bertemu. Dan akhirnya Naya memilih buru-buru balik ke kos, berganti baju dan menghabiskan waktu bersama teman. Kemudian, air matanya tumpah di hadapan saya. Karena dia menganggap hanya saya yang paham akan dirinya.

Bagi saya, keputusan hanyalah keputusan. Yang tidak bisa dibenarkan atau disalahkan. Dengan tidak menghadiri wisuda anaknya, bagi ibu Naya itu cukup adil menjaga perasaan antara Naya dan kakak perempuannya yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Memang Naya nekat harus bisa kuliah dan dia juga pernah bekerja part time ketika kuliah. Entahlah, bagaimana dengan kakaknya itu. Mungkin terlalu kekanakan atau sedikit iri dengan usaha Naya.

Bagi saya semua itu memang berat untuk Naya. Namun, apalah arti semua itu dibandingkan dengan pengorbanan ibu yang berusaha menjaga perasaan anak-anaknya.

Beberapa bulan, saya selalu mendengar Naya yang masih dingin terhadap ibunya. Dia selalu dendam, sesak hati dan merasa hambar dengan impiannya. Memang sederhana, perihal wisuda. Akan tetapi, bukankah keinginan didampingi orang tua itu menjadi impian setiap orang yang akan wisuda?

Saya selalu menyempatkan menghubungi Naya di waktu luang meskipun jarak terbentang. Pekerjaan baru dan pengalaman baru tidak membuat kami lupa akan kebersamaan ketika berjuang. Minggu lalu, kami jalan bersama di pusat kota. Membahas banyak hal. Saya mendengar dia membahas ibunya.

“Sebenci, dendam, marahnya aku untuk momen wisuda itu. Tetap saja aku membutuhkan masakan ibu tiap hari. Belum lagi kemaren aku sakit, ibu yang repot nungguin aku semalaman. Inilah hidup, say.”

Mendengar perkataanya, saya tersenyum. Semua benci akan luruh pada waktunya. Teruntuk ibu Naya penjaga hati anaknya, selalu menyisakan cerita terbaik dari hal kecil hingga keputusan besar.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends