Skip to main content
Categories
BeritaSosial

Surat Terbuka Mak-mak Medan untuk Edy Rahmayadi yang Kantornya Kebanjiran

Yulia Hartati

Yang terhormat
Pak Gubsu Edy Rahmayadi

Kali ini air menyerang basement kantor Bapak.
Sebagai warga, saya ikut prihatin.
Barangkali, seruan Bapak yang menyarankan agar warga berdoa supaya tidak hujan agar tidak kebanjiran lagi pada dua minggu lalu tidak berhasil.

Mungkin ada baiknya Bapak mengikuti saran teman sejawat Bapak, gubernur DKI, yang pernah mengatakan, menurut sunatullah, air hujan itu diturunkan langsung ke bumi, bukan ke laut, jadi tidak perlu pakai gorong-gorong.
Saya fikir, itu bukanlah saran yang mustahil. Pasti ada caranya karena Bapak punya aparatur dan pendukung yang sangat mendukung Bapak untuk bekerja baik. Dan tidak ada salahnya juga berguru ke teman sejawat Bapak itu. Mungkin bisa di ATM-kan di Sumatera Utara, khususnya Medan sebagai solusi tercepat buat genangan air yang makin menjadi ini.

Oia Pak, setahu saya, gorong-gorong kota Medan itu sudah gede-gede. Yang paling saya ingat, itu, yang ada di bawah jalan sepanjang jalan SM. Raja. Terakhir proyek seputaran Marendal. Ada juga di seputaran kampus UMSU Brayan.

Saya bisa mengerti, kejadian masuknya air ke halaman kantor Bapak kemarin sore menambah pikiran Bapak yang sudah bertumpuk-tumpuk itu. Bapak cukup pusing dengan semua permasalahan yang harus Bapak selesaikan. Semua minta dipikirin oleh Bapak. Apalagi sejak kasus di lapangan sepak bola baik kejadian di laga PSMS, maupun kerusuhan yang mengakibatkan meninggalnya suporter dan menjadi kehebohan nasional karena kebetulan Bapak juga masih berada di tampuk pimpinan tertinggi PSSI yang menjadi tanggung jawab Bapak.

Jikalau dua minggu lalu, genangan air dalam kota Medan Bapak sebut sebagai air sungai yang meluap, saya bisa paham.
Bapak sudah mengunjungi warga yang menjadi korban. Bahkan saya sempat memperhatikan ada noda lumpur di punggung baju Bapak. Saya tahu lokasi itu. Bapak sudah bercengkerama dengan warga, bahkan sudah memberi instruksi kepada pihak terkait, guna mencegah hal serupa berulang, sepertinya. (Saya kan tidak mendengar langsung apa yang Bapak instruksikan, tapi saya melihat Bapak memimpin satu pertemuan mengenai banjir itu).

Nah, yang ingin saya tanyakan sekarang, pak Gubsu.
Apakah air yang menggenangi kantor Bapak kemarin adalah juga air luapan sungai?
Saya tahu, ada dua sungai mengapit kantor Bapak.
Satu yang di belakang Hotel Danau Toba, satu lagi di kampung Madras sebelum Hotel Cambridge (Grand Swissbell).
Apakah air di basement kantor gubsu dari luapan kedua atau salah satu sungai itu karena jarak kantor Bapak ke kedua sungai tersebut cukup jauh. Masing-masing menempuh perjalanan kaki selama sekitar 5-15 menit.
Jika iya, berarti peremajaan bantaran sungai tidak bisa ditunda lagi.
Jika bukan, lalu tumpatnya di mana?
Jalur trotoar sepanjang kanan kiri jalan Diponegoro cukup lebar, artinya, gorong-gorong atau parit di bawahnya juga cukup besar.
Saya yang sering melewati jalan itu, melihat jalanan cukup bersih dari adanya sampah. Karena jalan itu adalah jalan protokol.
Lalu, tumpatnya di mana?

Kalau saya tak salah ingat, Pak. Jaman Abdillah masih menjabat walikota.
Begitu hujan deras turun, ada petugas yang berjaga menjaga aliran parit. Bahkan sampai ke tingkat kepling. Jarang sekali kawasan lapangan Merdeka itu tergenang air.
Waktu itu, kantor walikota masih di depan lapangan Merdeka. Lupa saya kapan pindahnya.

Lalu, mengapa sekarang situasi malah semakin buruk, genangan air menular hampir ke penjuru kota.

Kalau rumah saya di Medan Amplas kebanjiran, saya paham, Pak. Tidak ada jalur parit langsung dari rumah saya ke sungai Amplas. Topografinya tidak mungkin tembus ke sungai karena memang rumah saya lebih rendah dari jalan ke sungai, meskipun bantaran sungai sudah dibagusin. Padahal status jalan rumah saya adalah jalan kota. Yaa pasrah aja menunggu air surut bila sudah masuk rumah.

Saya tidak peduli jika Bapak menjawab apa yang saya sampaikan ini dengan, “Apa hak Anda menanyakan itu?” Atau, “Apa urusan Anda menanyakan itu?”, Saya tidak peduli. Karena saya merasa punya hak bertanya.

Bapak yang baik,
Bisakah kita fokus membangun Sumatera Utara?
Atau lebih tepatnya, maukah?
Membangun dalam arti membuat lebih baik lagi, bukan malah memperburuk yang sudah ada.

Bermartabat saja tidak cukup, Pak. Kami lelah dengan banjir.
Bagaimana mampu menjaga martabat jika anak-anak tidak bisa sekolah, warga tidak bisa ke kantor bekerja atau toko-toko kebanjiran dan air merusak barang dagangan. Bagaimana roda ekonomi bisa berjalan jika masalah banjir ini akan terus berulang?

Terkadang, kita suka abai akan sesuatu, hingga sesuatu itu datang tepat menampar muka kita.

Semoga Bapak membaca tulisan saya ini.

Saya,
Makyul,
Warga kecamatan Amplas,
Kota Medan.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends