Skip to main content
Categories
BeritaHeadlineHukumNasionalSosial

Vonis Untuk Meliana dan Etika Pengeras Suara Mesjid

Membahas sesuatu yang berhubungan dengan agama memang agak sensitif. Jika bicara tidak pada tempatnya, hanya akan menjadi boomerang bagi diri sendiri. Hal ini terjadi pada Meliana, perempuan asal Tanjung Balai, Sumatera Utara. Bermula ketika ia meminta pengeras suara di mesjid untuk dikecilkan karena terlalu bising. Versi lain menyampaikan, bahwa kala itu Bu Meliana sedang duduk bersama tetangganya lalu mengeluhkan pengeras suara karena membuatnya pusing jika sakit giginya kambuh. Perkataannya itu disebar oleh si tetangga dan entah bagaimana ada yang menyimpulkan bahwa perempuan Cina beragama Budha tersebut anti pada suara azan.

Tidak lama setelah itu, beberapa orang langsung mendatangi kediaman Bu Meliana. Meski sudah meminta maaf atas ucapannya, namun Bu Meliana tetap disudutkan dan dituduh telah melakukan penistaan agama hingga rumahnya dilempari juga berujung pada pembakaran 14 vihara disertai aksi penjarahan.

Tidak cukup dengan itu, Bu Meliana pun dibawa oleh polisi setempat, harus melewati proses pengadilan hingga mendapat vonis 18 bulan penjara. Kini masalah pengeras suara di mesjid pun kembali menjadi pembahasan yang hangat, setelah tahun 2015 wakil presiden, Jusuf Kalla, meminta diadakannya fatwa untuk mengatur penggunaan speaker mesjid yang kadang digunakan dengan semena-mena.

Setiap negara memang mempunyai aturan masing-masing mengenai etika penggunaan pengeras suara di mesjid. Contohnya Arab Saudi yang mengharuskan speaker mesjid digunakan hanya untuk azan, salat Jumat, salat Ied dan salat untuk meminta hujan. Lalu untuk khotbah, pengajian dan lainnya harus menggunakan speaker ke dalam saja. Sementara di Iran, letak mesjid dibuat berjauhan sehingga ketika waktunya azan tidak ada yang bersahutan seperti paduan suara. Selain itu, suara muadzin juga harus yang enak didengar, merdu dan syahdu. 

Pemimpin spiritual Iran, Ali Khamenei, pernah mengatakan; “Mengumandangkan azan jika pada batas-batas wajar tidak masalah, namun jika sudah mengganggu warga bahkan menyakiti warga maka hukumnya haram.”

Di Indonesia sendiri, Gus Dur juga pernah menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang –kecuali ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan nama ‘illat. Namun illat tidak bisa dipukul rata begitu saja. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, jangan sampai tersentak. Wanita yang haid jelas tidak terkena wajib sembahyang. Tetapi mengapa mereka harus diganggu? Demikian juga anak-anak yang belum akil baligh.

Jadi sepertinya, sangat manusiawi jika ada yang meminta untuk mengecilkan volume speaker selama orang itu tidak menggunakan kata-kata kasar, makian atau pelecehan terhadap agama. Mereka sudah cukup toleransi dengan adanya kegiatan mesjid yang tersiar oleh speaker beberapa kali dalam sehari. Sangatlah penting untuk tabayyun terlebih dahulu ketika mendapat berita sehingga tidak menimbulkan fitnah dan merugikan banyak pihak. Lagipula, bukankah Islam merupakan agama yang welas asih? Dan Rasulullah pun pernah bersabda bahwa agama yang dicintai Allah SWT adalah Al-Hanifiyyah As-Samhah(yang lurus lagi toleran). 

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends