1,1 juta Masyarakat Jakarta Gagal Dapat Bansos Akibat Ego dari Sang Gubernur
- Post AuthorBy Rina Na Kwartiana
- Post DateTue May 12 2020
Lagi, lagi dan lagi…, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berulah lagi. Kali ini Anies telah membohongi setidaknya 1,1 juta masyarakat Jakarta, sehingga gagal mendapatkan bansos seperti yang pernah dijanjikan oleh Anies. Ke mana larinya APBD DKI sebesar Rp 87,95 triliun itu?
Jakarta adalah Provinsi yang APBD-nya terbesar di Indonesia. Namun penggunaannya yang tidak jelas untuk apa. Bahkan untuk urusan bantuan sosial (bansos) bagi 1,1 juta masyarakat DKI yang terdampak pandemi Covid-19 saja, sang gubernur berani bilang sudah tidak punya dana. Sedangkan membayar commitment fee untuk Formula E yang cuma di urutan ke sekian dari Formula balap yang seharusnya sebesar Rp 560 miliar, hanya demi menunjukkan gengsi sang gubernur saja kok bisa. Edan kan kalau menurut saya.
APBD digunakan untuk membayar gaji TUGPP yang sebegitu banyak tapi tak terlihat hasil kerjanya? Mungkin saja, dikorupsi? Bisa jadi. Tapi yang jelas, APBD itu benar-benar tak jelas peruntukannya. Wajar jika kemudian Menteri Keuangan Sri Mulyani marah besar terhadap sang gubernur.
Lagi-lagi saya dibuat untuk berpikir keras atas ulah sang gubernur. Menurut saya, tak ada satu pun pekerjaan yang dilakukan oleh sang gubernur menunjukkan hasilnya, semuanya kacau dan hanya menghambur-hambukan uang saja. Ngurusin bajir nggak beres, normalisasi sungai nggak mau, bikin trotoar salah dan dibongkar lagi, pohon-pohon di monas ditebangi, ngurusin bansos kacau balau dan masih banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sang gubernur, tapi masih saja ada yang memujanya. Lama-lama saya kok makin gemas dengan ulahnya.
Balik lagi ke pembahasan soal bansos. Dari total 4,9 juta masyarakat yang berhak mendapat bansos, Pemerintah Pusat sudah menanggung 75%-nya, masa Pemprov DKI menanggung yang 25%-nya saja tidak sanggup? Lantas semuanya mau diserahkan pada Pemerintah Pusat.
Menurut kabar, bansos tahap 1 yang diterima masyarakat pada pertengahan April yang lalu, sejatinya bukan dari Pemprov DKI melainkan dari Pemerintah Pusat. Belum lagi data yang ada kacau balau, sehingga banyak warga yang seharusnya berhak menerima tidak mendapatkan bansos tersebut, sedangkan mereka yang berkecukupan justru mendapatkannya. Ini kan aneh sekali, wajar jika akhirnya banyak warga yang komplain, dan yang merasa tidak berhak tapi mendapatkan ramai-ramai mengembalikan bansos itu.
Menteri Sosial Juliari Batubara juga menyatakan bahwa penyaluran bansos oleh Pemprov DKI Jakarta tak sesuai dengan kesepakatan awal antara pemerintah pusat dengan Pemprov DKI Jakarta. Mensos juga telah memeriksa 15 titik penyaluran bansos di DKI Jakarta. Lalu ditemukan ada warga penerima bansos Kemensos sama dengan penerima bansos DKI. Akibatnya terjadi kekacauan di lapangan. Padahal saat rapat terbatas yang terdahulu, Gubernur DKI meminta bantuan pemerintah pusat untuk meng-cover bantuan yang tidak bisa di-cover oleh DKI. Berarti benar jika sang gubernur tak mau repot mengurusi soal bansos ini. Sungguh keterlaluan.
Belakangan, sang gubernur membantah jika Pemprov DKI tak memiliki uang untuk bansos setelah aibnya di bongkar oleh Menkeu. Bahkan dengan jumawanya, sang gubernur mengatakan sudah menyiapkan dana tambahan sebesar Rp 5 triliun. Beneran atau bohongan nih?
Merasa dipojokkan (atau tepatnya terpojokkan), sang gubernur lantas mengadu pada media Australia, The Sydney Morning Herald, media yang digadang-gadang adalah media yang begitu membenci Indonesia, apalagi sekarang di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, bahwa sang gubernur mengaku pada bulan Januari sempat dipersulit pemerintah pusat dalam pencegahan wabah virus corona covid-19. Padahal bulan Januari itu, Pemprov DKI masih sibuk mengurus banjir di sejumlah wilayah Jakarta, sibuk pasang toa yang nggak berfungsi, kok bisa-bisanya bicara pada media asing seperti itu. Gubernur macam apa itu?
Jikalau memang benar sang gubernur sejak Januari sudah ingin melakukan pencegahan wabah Covid-19, mengapa sang gubernur baru menjanjikan pembuatan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) dan laboratorium bio safety level (BSL) 3 pada akhir bulan Februari 2020 dan hingga hari ini tak ada satu pun wujudnya. Padahal di Wuhan sendiri, baru me-lockdown wilayahnya karena virus Covid-19 pada akhir bulan Januari, sedangkan badan kesehatan dunia (WHO) baru menetapkan virus ini sebagai pandemi global pada awal Maret 2020.
Di laman media sosial, beredar gambar sebuah bekas kontainer yang digadang-gadang sebagai laboratorium BSL level 3 itu. Padahal, bangunan itu lebih mirip dengan bedeng para pekerja konstruksi dibandingkan dengan sebuah laboratorium. Apalagi dari segi hygienitasnya, tak ada yang berani menjamin. Banyak netizen yang berkomentar bangunan ini justru lebih mirip dengan wc umum.
Ah sudahlah…, kita tunggu saja perkembangan selanjutnya, apakah pendataan itu akan beres sebelum hari raya Idul Fitri dan dana bansos yang katanya sudah dipersiapkan oleh sang gubernur sebesar Rp 5 triliun itu benar-bernar terwujud dan tersalurkan dengan baik? Mari kita lihat itikad baik sang gubernur.
• RINA •
Seseorang yang doyan makan tapi bisa masak. Senang baca dan sedang belajar jadi penulis.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)