Anak Jadi Korban Doktrin Orangtua yang Radikal
- Post AuthorBy Yalie Airy
- Post DateThu May 17 2018
Peristiwa peledakan bom di Surabaya dan Sidoarjo masih menyisakan pilu dan trauma bagi keluarga korban dan juga seluruh warga Indonesia. Bom bunuh diri yang dilakukan oleh tiga keluarga di tiga tempat yang berbeda sungguh menggemparkan kita semua. Peledakan bom terjadi secara beruntun itu dilakukan oleh Dita Oepriyanto bersama istri dan empat orang anaknya di minggu pagi di tiga gereja yang berbeda di Surabaya. Lalu bersambung minggu malam di kediaman Anton Febriantono di rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Berlanjut senin pagi di depan Mapolrestabes Surabaya yang dilakukan oleh Tri Murtiono beserta keluarganya.
Yang sangat mengejutkan masyarakat adalah, para pelaku bom bunuh diri melibatkan anak-anaknya dalam beraksi. Miris!
Anak-anak yang seharusnya menikmati masa-masa indah di usianya sudah harus didoktrin dengan ajaran radikalisme yang menyesatkan. Mereka disuguhi video-video jihad, perang-perangan, bahkan merakit bom. Tidak disekolahkan agar tidak terkontaminasi dari dunia luar. Hak asasi mereka direnggut justru oleh orangtuanya sendiri.
Sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa, mereka hanya korban dari pemikiran ideologi dari orangtuanya. Tapi dari mereka, ada satu yang berhasil lolos dari doktrin yang dilakukan orangtuanya, yaitu AR (15) dia adalah anak kedua dari pasangan Anton Febriantono dan Puspitasari. Pelaku pengemboman di rusunawa, Wonocolo, Sidoarjo. Pasca bom meledak, ia berhasil membawa kedua adiknya, FP (11) dan GHA (10) yang terluka keluar dari tempat itu. Pada pihak kepolisian, AR mengaku selama ini ia membangkang ajaran yang ayahnya berikan. Dan akibatnya ia pun harus menerima konsekuensi yang buruk, tidak diperhatikan dan dibedakan dari ketiga saudaranya.
Berbeda cerita, putri bungsu Tri Murtiono. Pelaku bom bunuh di depan Mapolrestabes Surabaya senin pagi, berhasil lolos dari maut pasca ledakan. Ia duduk di tengah dari dua motor yang mendatangi Polrestabes pagi itu, beruntungnya-tubuh gadis 8 tahun itu tidak dililit bom sehingga ia bisa selamat saat bom meledak meski terlempar hingga 3 meter. Saat api masih mengepul, ia merangkak dan berusaha bangkit, lalu AKBP Roni Faisal Saiful Faton yang melihatnya pun langsung tak berfikir panjang untuk menyelamatkan bocah malang itu. AIS segera dilarikan ke rumah sakit Bayangkara.
Sampai saat ini keempat bocah dari bomber itu masih ditangani oleh pihak Polda Jatim. Mereka akan dibimbing dan dilakukan proses deradikalisasi untuk menghilangkan paham radikalisme yang terlanjur tertanam di dalam otak dan hati mereka.
Menurut psikolog Astrid Wiratna, Wakil Ketua Pengurus Pusat Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, “Proses deradikalisasi mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan berbeda-beda setiap anaknya, hal itu tergantung dari seberapa jauh sang anak telah terdoktrin ajaran radikalisme dan ekstrimisme. Setelah anak-anak itu benar-benar sembuh dan bebas dari kontaminasi doktrin radikalisme mereka akan dikembalikan kepada sanak keluarga.”
Mereka, anak-anak ini membutuhkan perhatian khusus agar bisa memiliki kehidupan normal layaknya anak lainnya. Meski rasanya sulit karena selama ini mereka memahani ajaran yang berbeda, tapi tak ada yang tidak mungkin jika Tuhan menghendaki.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)