Bangkit dari Depresi dan Rasa Ingin Bunuh Diri
- Post AuthorBy Arako
- Post DateThu Jan 04 2018
Mengetahui ada seseorang yang bunuh diri –siapapun dia–, selalu saja mengirim sinyal duka yang khas ke dalam hati. Rasanya seperti mendadak ada ribuan daun serai yang diselundupkan ke dada. Sesak dan sakit.
Saya seorang survivor depresi. Ya. Saya pernah depresi berat. Tahun 2009-2011 adalah masa dimana pikiran untuk mengakhiri hidup begitu seringnya melintas. Saya sudah dua kali melakukan upaya percobaan bunuh diri yang sayangnya (eh, maksud saya “untungnya”) gagal.
Banyak yang mengaitkan ini dengan kurangnya tingkat keimanan, seperti kurang beribadah dan hidup jauh dari Tuhan misalnya. Ha, saya geli kalau mendengar teori ini. Karena saat itu, saya justru orang yang cukup relijius. Tidak pernah absen beribadah dan cukup aktif dalam kegiatan keagamaan. Pun konsekuensi atas tindakan bunuh diri pun saya tahu persis –ancaman neraka dan sebagainya–… namun faktanya keinginan untuk bunuh diri itu tetap ada.
Mirisnya, ketika orang-orang depresi seperti saya berusaha mengirim kode butuh pertolongan, selalu dianggap ‘lebay, caper’ atau bahkan mengada-ada. Pada akhirnya, sikap orang sekitar yang tidak responsif dan cenderung menyakitkanlah yang akhirnya menjadikan diri tertutup.
Frustrasi, diri yang tak berharga dan tidak berguna, kesepian meski dikelilingi banyak orang, tak melihat adanya jalan keluar kecuali mengakhiri rasa sakit yang kian hari tak tertahankan…. hal-hal inilah yang dirasakan orang-orang depresi.
Meski demikian, tak peduli seberapa besarpun keinginan untuk mengakhiri hidup, di hatinya selalu ada titik yang berharap… bahwa akan ada seseorang yang bisa menolong dan menarik tangannya dari lubang keputusasaan. Seseorang yang mengerti bahwa dirinya sedang terluka sangat parah meski dari luar bibirnya tampak tersenyum.
Saya bersyukur, di saat-saat krusial, Tuhan masih menolong saya lewat kehadiran seseorang. Seseorang yang tidak pernah saya perhitungkan atau terpikir sebelumnya akan dapat menolong saya. Dia tidak punya kalimat-kalimat hebat seperti khotbah atau ceramah ala motivator ternama. Dia juga tidak punya kekuatan super yang sanggup menyelesaikan masalah saya dengan instan. Yang dia lakukan hanya menyisihkan sedikit waktu di sela kesibukannya dan memastikan saya tidak sendirian. Dia menyediakan telinganya tanpa repot menyiapkan mulut untuk menghakimi. Ketika tangisan saya akhirnya meledak, genggam tangan dan pelukannya terasa begitu menentramkan.
Butuh waktu bertahun-tahun lagi bagi saya pulih dari keterpurukan. Tapi tak bisa dipungkiri, kehadirannya begitu menguatkan saya. Sedikit waktu yang dia sisihkan telah menyelamatkan saya, yang bahkan sudah mengumpulkan catatan riset : CARA BUNUH DIRI YANG KEREN.
Inilah yang membuat saya begitu terpukul jika mendengar seseorang bunuh diri. Sebab saya tahu, sesungguhnya mereka masih bisa diselamatkan. Seandainya ada lebih banyak hati untuk peka. Seandainya ada lebih banyak telinga untuk mendengarkan. Seandainya ada lebih banyak mulut (dan jemari) yang memproduksi kalimat-kalimat positif penuh support dan bukannya bullying serta penghakiman….
Bagi sebagian dari kita, mungkin ada yang menganggap penyintas bunuh diri adalah manusia-manusia bodoh yang tidak berharga. Namun jika saja mereka diberi kesempatan untuk menyadari kebodohannya, mereka bisa menyelamatkan lebih banyak orang di kemudian hari. Jika tidak mampu berduka dengan kematian mereka yang bunuh diri, setidaknya tahanlah mulut (dan jemarimu) agar tidak mendorong para manusia depresi yang masih hidup untuk terjun di jurang keputusasaan yang sama.
Percayalah, lima menit waktumu dan sedikit ketulusan dari hatimu selalu bisa menyelamatkan nyawa seseorang.
*
(Nb.
Buat kamu yang ingin bunuh diri dan ga sengaja baca tulisan ini, yuk ngobrol-ngobrol dulu. Bisa hubungi saya lewat email atau akun sosmed)
- Post Tags#bunuhdiri#depresi#suicide
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)