Skip to main content
Categories
Inspirasi

Bigot

Rea Lisha

Walt Kowalski dalam film Gran Torino adalah pria tua yang sinis, pemarah, tidak bahagia, pikirannya penuh prasangka. Istrinya baru saja wafat. Lihat bagaimana ia ngedumel pada orang-orang yang melayat ke rumahnya. “Banyak orang datang usai kebaktian. Kurasa mereka dengar kabar akan banyak daging.”

Veteran perang Korea itu tidak bisa bergaul dengan anak dan cucu. Saat cucu perempuannya yang remaja menawarkan bantuan mengangkat kursi, Walt memandang sinis cara berdandannya. Dengan dingin Walt menolak, “Tidak. Mungkin kau baru mengecat kukumu.” Walt benci produk asing. Ia tidak suka melihat anaknya memakai mobil Jepang. “Tak bisa membeli mobil Amerika,” Walt mencibir anaknya. Walt juga memandang rendah pendeta dengan mengatakan, “Aku tidak mau membuat pengakuan dosa di depan anak yang baru lulus SMA.”

Walt yang asli Amerika tidak senang dengan tetangga barunya yang berasal dari Asia (tepatnya China). Ia menyebut mereka tikus rawa dan barbar. Suatu hari ketika menyapu halaman depan rumah, Walt bergumam tajam sambil memperhatikan perempuan tua China yang duduk di kursi goyang di terasnya, “Kenapa orang China pindah ke lingkungan ini.”

Perempuan tua itu meliriknya dengan pandangan sengit. Seperti tahu apa yang dipikirkan Walt, perempuan tua itu juga ngomong sendiri dalam bahasa China, “Kenapa orang tua itu masih di sini? Semua orang Amerika sudah pindah dari lingkungan ini. Kenapa kau belum pergi? Kenapa kau tak pergi dari sini?”

Melihat gelagat perempuan tua itu, Walt meludah. Perempuan tua itu tidak mau kalah. Ia menyemburkan ludah dengan lebih keras dan lebih banyak.

Sikap sinis, penuh prasangka, dan curiga berlebihan yang ditunjukkan Walt merupakan bagian dari mental bigot.

Mungkin pernah mendapati seorang yang memberikan pembelaan berlebihan pada pelaku korupsi karena didorong rasa solidaritas satu agama. Ia tidak mau tahu duduk perkaranya, tidak mau mencari tahu secara mendalam latar belakang terjadinya korupsi yang dilakukan. Yang seperti itu adalah bigot.

Dalam peta besarnya, merujuk pada ilmu perkembangan psikologi, istilah bigot menunjuk pada orang yang sangat kuat loyalitasnya pada kelompok tertentu, entah agama, etnis, pandangan politik, sekolah, kampus, kampung, ataupun yang lainnya. Bigot dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah bigotry. Beberapa cendekiawan meyakini istilah bigot muncul ketika terjadi perbedaan pendapat di wilayah Perancis.

Seorang bigot memiliki keyakinan yang kuat tapi tidak masuk akal. Pemikiran dasar mereka adalah bahwa siapa pun atau apa pun yang tidak memiliki kepercayaan yang sama merupakan sesuatu hal yang salah. Bigot sama sebangun dengan fanatik dogmatis.

Karakter bigot antara lain pemikirannya sempit, intoleran, penuh curiga dan prasangka. Seorang bigot menganggap pengetahuan yang telah dimilikinya sebagai kebenaran satu-satunya, mutlak. Ia terpaku pada satu jalan. Tidak menyediakan ruang untuk perbedaan pendapat. Dalam perdebatan, ia menolak dengan alasan yang tidak logis.

Karena pikiran sempit, tidak bisa menerima perbedaan pendapat, sulit baginya bersikap toleran pada golongan yang beragam. Para bigot merasa dirinya paling benar dan yang lain pasti salah. Contoh dalam pemilihan kepala daerah, kelompok bigot akan menolak mati- matian calon kepala daerah di luar agamanya. Kemampuan bekerja sang calon tidak masuk dalam pertimbangannya. Kebanggaannya yang terlalu kuat telah melemahkan akal sehat.

Kalau memperhatikan media sosial, ada orang yang tiada hari tanpa menyalahkan pemerintah. Statusnya penuh dengan ujaran kebencian. Ketika menemukan link walaupun tidak jelas sumbernya, sebuah link yang berisi isu garam dicampur beling beredar di tengah masyarakat, ia tanpa berpikir panjang segera turut menyebarkannya disertai tuduhan ditujukan pada pemerintah. Belakangan diketahui isu garam dicampur beling itu hoax. Saat pemerintah bisa ekspor bawang merah ke luar negeri, ia tidak peduli.

Kritis pada kebijakan pemerintah atau lembaga-lembaga negara yang lain itu bagus. Memang diperlukan sikap skeptis dalam mencari kebenaran. Tapi seorang bigot menaruh curiga sangat berlebihan, sering menuduh tanpa dasar. Ketika hal buruk terjadi, mereka tidak mau mencari tahu akar masalahnya. Reaksi pertamanya adalah menyalahkan orang-orang yang mereka benci tanpa memberikan jalan keluar. Dalam pandangan bigot, tak ada kebaikan setitik pun dari orang atau kelompok yang dibencinya.

Ketika berhadapan dengan orang atau kelompok yang disuka, mental bigot menaruh percaya tanpa menyediakan ruang sedikit pun untuk waspada. Membuatnya mudah menjadi korban penipuan. Pandangan sempit membuatnya tak mampu jernih melihat masalah. Ia mudah terpesona simbol atau tampilan luar dan mengabaikan substansi. Orang-orang bigot mudah digiring untuk kepentingan bisnis dan politik yang dibalut dengan kemasan agama.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends