Bukan Bunga, tapi Masa Depan
- Post AuthorBy Alimah Fauzan
- Post DateFri Feb 23 2018
“….Saya memilih keluar dari desa saya dan bertekad kuliah di Yogyakarta. Ketika saya masih menetap di desa, laki-laki mengantri meminta persetujuan saya setelah disetujui orang saya. Namun pilihan saya tetap sama, saya tidak ingin menikah di usia muda. Seujurnya saya tidak benar-benar ingin melanjutkan kuliah, tapi ini adalah satu-satunya alasan agar bisa keluar dari desa. Namun saya hanya berpikir tentang diri saya sendiri. Kenapa? Karena teman-teman perempuan saya tidak memiliki keberanian untuk menolak lamaran. Mereka takut dengan karma, ketika kita menolak lamaran seorang laki-laki atau keluarganya, maka kita akan ‘kualat’. Bisa jadi, kita akan sulit dapat jodoh atau menderita karena ada lelaki yang sakit hati pada kita….”
Kalimat tersebut mengalir penuh emosional dari salah satu mahasiswi saya. Saat kali pertama dia antusias bertanya tentang pemberdayaan di desa, saya pikir hanya ketertarikan aktivis mahasiswi biasa. Ternyata di balik setiap pertanyaannya selama ini memang memiliki motivasi yang kuat.
Selain persoalan nikah dini yang diceritakan mahasiswi saya di desanya, saya sudah terbiasa melihat langsung kondisi serupa di desa-desa dampingan saya. Anak perempuan dan laki-laki yang tidak berdaya melawan kehendak orang tua masing-masing. Dorongan untuk menikahkan anak perempuan dan laki-laki sebelum usia 18 tahun cukup beragam.
Pilihan mahasiswi saya ini mengingatkan saya pada pilihan Punita, gadis Nepal berusia 12 tahun saat itu. Saya rasa di antara kita pernah membaca kalimatnya yang cukup populer dikutip saat hari kasih sayang (Valentine). Di usianya, Punita menyadari bagaimana bahaya pernikahan anak dari sebuah program yang didukung oleh UNFPA. Dia bertekad memutus siklus dengan tetap bersekolah dan menjadi guru. Semua saudara perempuannya harus meninggalkan sekolah pada usia ke-tujuh tahunnya untuk menikah. Jadi dia bertekad untuk terus belajar selama mungkin dan mendapatkan pekerjaan yang bagus, hanya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia dan anak perempuan lain bisa melakukannya.
Berdasarkan data UNFPA, lebih dari 48 persen perempuan dewasa di Nepal melaporkan bahwa mereka telah menikah sebelum mencapai usia 18. Di Irak, lebih dari seperlima gadis berusia 15 sampai 19 tahun telah menikah, menurut data tahun 2011. Konflik dan perpindahan bisa membuat keadaan menjadi lebih buruk. Untuk keluarga seorang gadis, perkawinan anak nampaknya hanyalah salah satu dari beberapa pilihan mengerikan.
Selain kawin anak, ada juga persoalan sunat perempuan, kekerasan dalam pacaran (KDP), dan sejumlah persoalan di kalangan remaja. Secara global, komplikasi kehamilan adalah pembunuh wanita kedua yang berusia 15-19 tahun. Dan di negara berkembang, sembilan dari 10 kelahiran pada remaja putri terjadi dalam pernikahan atau persatuan.
Data terbaru yang saya baca di majalah TEMPO (edisi 18 Februari 2018, hlm: 17), saat ini terdapat temuan 200 juta perempuan di seluruh dunia mengalami sunat. Lebih dari 50% di antaranya hidup di tiga negara, yaitu Indonesia, Mesir, dan Ethiopia. 44 juta di antaranya berusia kurang dari 15 tahun. Bahkan di Afrika, 3 juta anak perempuan terancam sunat tiap tahunnya. 56% tingkat prevalensi sunat perempuan terjadi di Gambia, dan ini tertinggi.
Tentu saja, risiko sunat perempuan berbeda dengan laki-laki. Kajian tentang sunat perempuan juga sudah cukup banyak. Di antaranya adalah perdarahan, masalah kencing, kista, infeksi yang mengakibatkan komplikasi saat melahirkan dan risiko kematian bayi. Lalu bagaimana manfaat dari sunat perempuan? Jawabannya adalah nol persen alias tidak ada sama sekali alasannya selain mitos untuk mengendalikan nafsu perempuan menurut salah satu hukum agama.
Sekian persoalan perempuan terus terjadi selain kawin anak dan sunat perempuan. Di Indonesia, kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan terus terjadi dan sekian persoalan lainnya. Di Nigeria, ada Falmata dan anak-anak perempuan lainnya yang menjadi target penculikan untuk dijadikan sebagai pembawa misi kematian. Ini memang bukan isu baru, karena sebelumnya anak perempuan di sana memjadi korban penculikan Boko Haram.
Boko Haram adalah kelompok Islamis militan Nigeria. Boko Haram melakukan pemberontakan sangat brutal di Afrika, seperti dilaporkan Wartawan BBC, Farouk Chothia. Mereka menguasai banyak wilayah, mengancam keabsahan wilayah Nigeria dan memulai perang dengan menargetkan negara tetangga Kamerun.
Sementara Falmata, kisahnya memang sama-sama diculik oleh Boko Haram. Namun yang berbeda adalah tentang misi kematiannya. Juga pilihan dia untuk menjadi pengantin karena masih sangat muda. Media itu menulis bahwa Falmata adalah satu dari ratusan perempuan muda, sebagian besar remaja, yang diculik kelompok milisi di Nigeria dan dipaksa menjalankan misi kematian. Yang menakjubkan, dia selamat.
Tentu saja, catatan ini tidak berarti mengabaikan kebutuhan para perempuan secara umum, serta persoalan kemanusiaan pada umumnya. Termasuk persoalan di Asmat Papua, dimana begitu banyak penyimpangan yang ditengarai terjadi dari tahun ke tahun. Masih berdasarkan data TEMPO, kematian 72 penduduk di Kabupaten Asmat menguak persoalan laten kesehatan di Provinsi Papua. Puluhan triliun rupiah anggaran yang diguyurkan pemerintah tiap tahun ternyata tidak menambah kualitas kesehatan penduduk daerah tersebut.
Juga, persoalan buruh migran yang baru digemparkan dengan kematian Adelina Lisao (21), Buruh Migran Indonesia (BMI) asal NTT. Adelina meninggal saat menjalani perawatan medis di RS Bukit Mertajam pada Minggu, 11 Februari 2018. Adelina meninggal secara tragis akibat penganiayaan yang terjadi secara berulang-ulang.Kematiannya, kembali menambah daftar panjang kematian buruh migran di Indonesia.
Mereka sama-sama tak membutuhkan bunga, cokelat, boneka atau simbol-simbol kasih sayang lainnya. Namun upaya, aksi dan respon konkrit dari berbagai pihak demi masa depan mereka agar lebih baik lagi. Kisah mahasiswi saya, anak-anak perempuan yang saya temui di desa dampingan saya, Punita, Falmata, dan begitu pun anak perempuan di negara konflik, mereka semua membutuhkan dunia yang lebih ramah, baik, responsif terhadap kebutuhan mereka, demi masa depan mereka yang lebih baik lagi.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)