Cantik Bukan dari yang Orang Lain Pikirkan
- Post AuthorBy Peran Perempuan
- Post DateTue Aug 29 2017
Penulis: Margaretha Diana
Sense of confident
Ada yang pernah bertanya, untuk apa pakai make up, kalau tidak bisa mengubah penampilanmu?
Untuk apa kelihatan cantik dengan make up, kalau tak ada yang memuji dan menghargai?
Banyak cerita tentang pujian pada wanita, yang berimbas pada banyak hal, terutama di era media sosial saat ini. Ada banyak kasus, wanita yang “terhipnotis” oleh bujuk rayu serta pujian oleh orang-orang yang mereka kenal di meda sosial, yang berujung pada bukan saja hal-hal yang abnormal, tapi juga bahkan kriminal.
Pada dasarnya, perempuan, atau bisa dibilang kebanyakan dari perempuan, mempunyai sense of confident (rasa percaya diri) yang rendah. Banyak perempuan yang merasa, bahwa standard untuk bisa percaya diri adalah mempunyai kulit putih mulus, wajah cantik, hidung mancung, juga tubuh yang seksi aduhai. Hal ini, menyebabkan, tidak sedikit perempuan, yang memakai operasi plastik guna membentuk tubuh sesuai dengan “standard” kebanyakan. Hal yang sama juga yang membuat banyak perusahaan kosmetik, berlomba-lomba mengeluarkan berbagai produk “sihirnya”. Entah dengan embel-embel memutihkan, memuluskan, menghilangkan kerutan, anti penuaan dini, atau juga yang melangsingkan, dan lain sebagainya.
Apa salah jika perempuan ingin tampil cantik dan sesempuna mungkin?
Tidak, tidak ada yang salah sebenarnya. Tapi persepsi setelah itu yang seringkali keliru. Karena banyak yang menganggap, bahwa setelah dia melakukan operasi plastik, atau mengubah gaya make up serta penampilan, mereka berubah menjadi seseorang yang baru, dan bahwa segala kesulitan hidup akan lebih mudah dihadapi.
Padahal, pada kenyataannya, hanya kulit yg berubah, bukan isinya.
Ibaratnya, rengginang, saat disuguhkan di atas meja, baik dengan kaleng biskuit bekas ataupun dengan toples emas, esensinya adalah sama, rengginang.
Pun yang dijual di pasar, atau yang dikemas apik kemudian dijual di supermarket dengan harga yang berkali lipat, rasanya ya tetap sama, rengginang, tidak bakal berubah rasa menjadi keripik singkong. Hanya pakaging (kemasan) saja, yang menjadikannya terlihat lebih berkelas, walau pada akhirnya, bahkan bungkus secantik apapun, apakah ada artinya, saat isinya sudah habis?
Abraham Maslow menulis tentang teori hierarki kebutuhan hidup manusia yang didorong oleh dua faktor dalam hidup, yaitu motivasi akan kekurangan, serta motivasi akan perkembangan.
Dan dalam hal ini, kebutuhan aktualisasi diri, yang seharusnya, jika di dalam teori hierarki Abraham Maslow, berada di urutan teratas, justru untuk saat ini, seringkali menjadi kebutuhan utama.
Kenapa?
Karena banyak perempuan, yang rela tidak memenuhi kebuhan fisiologisnya, hanya demi mendapatkan tubuh yang selalu terlihat langsing. Dan dengan stempel langsing tersebut juga, (mereka mengira) kebutuhan akan rasa aman, dicintai dan merasa dihargai oleh orang lain, terpenuhi.
Ironis bukan?
Itulah kenapa, saya lebih setuju dengan Karls Jesper, bahwa pada manusia, segala sesuatunya, seringkali bersifat mendua. Bukan hanya kemajuan, tapi juga seringkali kemunduran. Apalagi di waktu-waktu sekarang ini, masa dimana masyarakat banyak yang memiliki sifat callousness (tidak berperasaan), minus empati terhadap sesamanya.
Perempuan, seringkali memang terjebak (baik sengaja atau tidak) dalam situasi yang membuat dirinya menjadi pusat perhatian, baik oleh lawan jenis maupun sesama perempuan. Dan lucunya, banyak pula yang pada akhirnya play victim, hanya untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekelilingnya. Dan orang-orang yang seperti inilah, yang pada dasarnya, mempunyai sifat machiavellians, dan repotnya, saat kecanduan dengan perhatian itu, secara tidak sadar, mendorong dirinya untuk memanipulasi lebih banyak hal lagi. Hingga akhirnya, sikap tersebut, hanya menghasilkan pribadi dengan tambahan ekstra, yaitu nonclinical psychopaths.
Itulah kenapa, memang iya, bahwa perempuan suka dipuji, tapi bukan berarti kita sebagai perempuan, harus terus haus terhadap pujian. Menjadi cantik, tidak harus menjadi yang orang lain pikirkan, dan mengubah apa yang ada dalam diri kita, hanya untuk mengejar penghargaan semata, tapi mengorbankan banyak hal yang kita punya.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)