Skip to main content
Categories
InspirasiRumah Tangga

Cara Elegan Menghadapi ‘Pelakor’

Julukan Pelakor a.k.a Perebut Laki Orang, diberikan pada mereka, perempuan-perempuan yang dianggap merusak rumah tangga orang lain dengan cara merebut suami orang. Dipikir-pikir, pelakor ini sudah ada sejak zaman baheula, kok. Lantas apa yang membuatnya begitu fenomenal? Sosial media, tentu saja. Korban—istri sah si laki—merasa geram dengan tingkah laku si pelakor kemudian dengan segenap bukti ia membeberkan bahwa rumah tangganya dirusak oleh pelakor.

Saya pribadi, tidak sepakat dengan cara korban meluapkan kemarahannya memakai cara demikian. Bagi saya, memberi tahu kepada khalayak ramai bahwa rumah tangga kita telah rusak bukanlah cara elegan, yang ada malah mempermalukan diri sendiri. Lagipula, apa yang didapat? Simpati publik hanya sebatas kata-kata yang membesarkan hati seperti, “Sabar, ya.” atau “Yang kuat, ya.” Thats it. Atau jika korban ingin mendapat bantuan untuk menghujat pelakor, cara tersebut memang bekerja. Selebihnya, sungguh, tak ada keuntungan yang didapat. Solusi pun tak ada. Dari sekian ribu teman di sosial media, bisa dipastikan nyaris tak ada seorang pun yang secara sukarela dan mau repot-repot membantu korban menyelesaikan masalah tersebut.

Lantas, bagaimana cara menghadapi pelakor?

Ambil cara elegan. Seperti contohnya, janganlah menjadi seorang yang menyedihkan. Kebanyakan korban tidak cukup hanya dengan memaki si pelakor, tapi juga seringkali dibarengi dengan sesi curhat: betapa menderitanya saya karena pelakor, betapa sakit hati ini diselingkuhi, betapa suram hidup ini ke depannya, dan beragam keluhan lainnya.

Memang, wanita mana pun memiliki ekspetasi tinggi ketika memulai pernikahan. Ketika ekspetasi tersebut dipatahkan dengan kehadiran pelakor, hidup rasanya tak berguna lagi. Namun, mengeluh di sosial media pun tak banyak membantu. Jika hati sakit, ingin rasanya didengarkan, sekiranya curhatlah pada orang yang tepat. Pilihlah orang yang dapat berpikir objektif, yakni orang yang tidak berpihak kepada siapa-siapa, yang mampu berpikir logis. Memang tidak mudah. Apalagi jika, si pelakor dengan mudahnya memanas-manasi korban dengan cara mengunggah foto-foto mesra dengan laki yang direbutnya. Ingin rasanya membalas. Tak mau kalah. Namun, tidak ada salahnya menahan diri. Tidak ada yang salah dengan bersabar.

Cara lainnya adalah, ajak bertemu si pelakor. Eits, jangan datang sambil bawa senjata, ya. Datanglah dengan kepala dingin. Jika perlu, adakan pertemuan bertiga: Anda, suami Anda dan si pelakor demi menghindari adanya cerita karangan atau miss communication. Jangan posisikan diri Anda sebagai korban, cobalah fokus untuk menyelesaikan masalah saja. Coba dengarkan bagaimana mulanya penyelewengan itu bisa terjadi. Dari cara demikian Anda bisa mendapat banyak fakta. Bisa saja si pelakor benar-benar tidak tahu lelaki yang dipacarinya itu ternyata sudah memiliki Anda—istrinya. Atau bisa saja, si pelakor sudah tahu namun tetap bersikeras ingin memacari suami Anda. Bisa juga, si pelakor sudah menghindar namun suami Anda tetap menggodanya atau sebaliknya. Segala kemungkinan bisa terjadi. Beragam cerita akan Anda dengar dan sangat mungkin akan menyakitkan hati. Dari pertemuan itu, semoga Anda bisa menyimpulkan cara apa yang akan Anda tempuh untuk menyelesaikan masalah tersebut. Apakah bercerai atau memberi kesempatan kedua untuk suami Anda.

Jika  cara tersebut sulit untuk Anda lakukan, cukuplah dengan mengajak suami berbicara berdua. Jika Anda memutuskan untuk memberi kesempatan kedua, cobalah untuk bersikap dewasa. Jangan ungkit-ungkit kesalahan lalu. Percayalah namun tetap waspada sambil terus mengoreksi dan memperbaiki diri untuk berjaga-jaga agar masalah seperti itu tidak terjadi lagi.

Cara terakhir adalah merelakan. Siapa saja bisa berbuat salah dan berhak mendapat kesempatan kedua. Namun, untuk urusan ini Anda boleh memberi pengecualian. Mengkhianati komitmen pernikahan bukanlah perkara sepele. Percayalah, sekalipun Anda memberi kesempatan kedua kemudian suami Anda menunjukkan perubahan, luka yang Anda dapat dari pengkhianatan tidak mudah hilang. Daripada terbayang-bayang seumur hidup, lebih baik merelakan. Membiarkan semuanya berakhir. Hiduplah dengan tenang dan tanpa dendam.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends