Curhat Seorang Ibu yang Anaknya Mengidolakan Jokowi
- Post AuthorBy Peran Perempuan
- Post DateThu Jan 31 2019
Viral di Whatsapp, curahan hati seorang ibu yang memiliki anaknya sangat terinspirasi dari sosok Joko Widodo dan memiliki mimpi ingin bisa seperti beliau. Berikut isi pesannya.
Pak Jokowi, Jadilah Presiden untuk Anak-Anak Kami
Pak Jokowi, saya Irna. Saat saya menulis ini, umur saya sudah 40 tahun. Suami saya 44 tahun. Kami sudah tidak butuh lagi memusingkan presidennya Bapak atau Pak Prabowo. Buat kami siapapun Presidennya, hidup kami sudah cukup memuaskan, bisa menghabiskan sisa hidup di tengah-tengah sawah, sambil menunggu waktu pensiun.
Hasil panen padi tiap bulannya cukup untuk menghidupi kami bertiga. Lauk bisa dipancing tiap hari di sungai. Ayam-ayam kami bertelur dengan sukacita. Atau kalau ingin daging, bisa beli sekerat-dua kerat di pasar. Harganya masih terjangkau. Berobatpun kami gratis dengan bayaran BPJS PBI.
Anak kami Irfan, saat ini SMA, menjelang kuliah, adalah yang paling mengidolakan Pak Jokowi. Di kamarnya tergantung gambar Bapak, yang kami tidak mengerti mengapa, saat teman-teman sebayanya mengidolakan artis Korea dan Jepang. Melihatnya aktif berpolitik, berkumpul dengan teman-teman relawannya, sibuk mengupdate media sosialnya, aktif di Karang Taruna, kadang ikut rapat di DPC partai, membuat kami kadang deg-degan. Banyak orang bilang politik itu kotor, tapi tak mungkin juga kami melarang darah mudanya yang bergairah untuk berorganisasi.
Seperti juga bapak, dia tidak punya potongan pemimpin. Badannya tipis, cungkring, mukanya hitam legam akibat terpapar sinar matahari berjalan kaki dari rumah ke sekolah berkilo-kilo meter setiap hari. Melihatnya, kami melihat sosok Bapak sebagai anak sendiri.
Saat kami bertanya sebabnya, Irfan menjawab “Irfan juga ingin suatu saat jadi kaya Pak Jokowi, Bu,” Sesuatu yang membuat kami terheran-heran. Teman-teman sebayanya mengidolakan artis, atau minimal sedang tergila-gila mengejar gadis tetangga sebelah, atau bergitar bersama teman-teman nongkrongnya. Irfan sudah bermimpi jadi politikus dan tokoh besar seperti Bapak.
Pemikirannya terlalu dewasa dan maju untuk kami ikuti. Tapi saat kami melihat siapa Pak Jokowi, kami percaya dia pun bisa. Saat kami melihat siapa orangtua Bapak, di situlah kami melihat cerminan diri kami. Saat kami dengar tentang hidup Pak Jokowi dan keluarga yang begitu bersahaja, di situlah kami melihat cerminan keluarga ini.
Kami tak mampu menyekolahkan Irfan di sekolah termahal seperti yang biasa dilakukan keluarga mampu. Seringkali kebutuhannya kami penuhi dengan tambahan KIP dan bantuan-bantuan dari keluarga besar. Ia juga sering mencari kerja serabutan. Terus terang untuk menyekolahkannya tinggi-tinggi, kami tak akan mampu. Seperti juga Bapak, ia juga sempat kecewa tidak tembus sekolah negeri terbaik. Ia anak biasa-biasa saja. Tapi selalu teguh dengan keinginannya. Seperti apa kami membaca sejarah seorang Jokowi muda, seperti itulah Irfan saat ini.
Kami mungkin bukan keluarga kaya. Tapi melihat perjuangan Bapak dari orang tak berpunya yang juga pernah jadi korban gusuran seperti kami, dan besarnya keteguhan hati Irfan mengubah nasibnya, bekerja sendiri untuk memenuhi sebagian dari kebutuhannya.
Bapak mengajarkan kepada anak kami, bahwa yang terpenting adalah tekad kuat dan konsistensi. Tanpanya sejarah tak mungkin tercipta. Perubahan tak akan punya makna. Tak akan pernah ada cerita bahwa negara ini pernah punya presiden anak tukang kayu, yang juga kemudian juga menjadi tukang kayu, dan kini memimpin bangsa kita.
Pak Jokowi, sebentar lagi kami pensiun dan menua. Sebenarnya siapapun presidennya bagi kami sama saja. Semua kandidat menawarkan kesejahteraan dan janji-janji pembangunan. Yang kalau salah satunya terpilih pun sebenarnya akan sama saja yang tercipta.
Tapi yang menjadi pembeda hanyalah sebuah hal kecil, semangat dan harapan yang Bapak tanamkan kepada anak-anak kami semua di desa kecil ini. Bahwa semua punya kesempatan yang sama menjadi tokoh pemimpin bagi bangsa ini, tanpa harus sibuk mengukur kekayaan, membanding-bandingkan penampilan, atu membanggakan dia anak siapa.
Karena kenyataannya memang kami sebagai orangtua bukanlah siapa-siapa, Pak. Kalau dibandingkan dengan anak-anak kota yang penampilannya mentereng, Irfan bukanlah siapa-siapa. Memimpikannya jadi lulusan luar negeri jelas ketinggian bagi kami. Memodalinya jadi pengusaha besar, jelas kami tak mampu. Dia juga bukan keturunan orang terpandang, karena memang dari dulu kami keluarga biasa-biasa saja.
Hanya semangat yang menjadi modalnya. Seperti juga semangat pantang menyerah Bapak saat ditipu dan bangkrut. Ia pun tak pernah menyerah dengan kondisinya.
Jadilah Presiden untuk anak-anak kami Pak. Untuk Irfan, dan teman-teman seperjuangannya…
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)