Skip to main content
Categories
Inspirasi

Dear Mbak Dian, Anda Tak Sendiri

Dear Mbak Dian, Anda tak Sendiri.

Mendengar, menonton dan membaca berita yang sedang booming saat ini, saya seperti dibuat memutar kembali masa-masa terpahit yang saya alami pada tahun 2013 lalu.

Dear Mbak Dian, saya pernah merasakan seperti yang Anda rasakan. Saya bukan ingin menyama-nyamakan. Tapi sebagai wanita, tak ada salahnya kita saling memberikan kekuatan dan dukungan meski Anda tak mengenal saya.

Saya menikah dengan suami saya pada tahun 2005. Dalam pernikahan tersebut saya telah dikaruniai dua orang anak. Pada saat kejadian, saya tengah mengandung anak ke tiga, usia kehamilan saya saat itu jalan bulan ke tujuh.

Hati wanita mana yang tidak teriris dan marah ketika tau bahwa orang yang kita cintai ternyata menikah diam-diam secara siri dengan perempuan lain yang kita kenal?

Saya teramat paham dengan luka batin yang mbak Dian rasakan, karena sayapun merasakan. Kemarahan, sakit, kekecewaan mendalam yang tidak tau harus dilampiaskan kepada siapa. Bahkan dalam doa saya sempat menuduh Tuhan tidak adil terhadap kehidupan saya.

Sebagai wanita muslim, hampir tak pernah saya lewatkan panggilan lima waktu dariNya. Bahkan salat malam juga kami berdua jalankan. Tapi kenapa Dia memberikan cobaan yang demikian berat terhadap kehidupan saya?

Suami saya bukan ustad ternama. Beliau hanyalah guru ngaji biasa di masjid komplek rumah saya. Tapi beliau lumayan disegani oleh masyarakat sekitar daerah rumah saya. Beliau dianggap tau tentang agama, biasa dipanggil dari kampung ke kampung ketika ada hajatan untuk memberikan syiar agama maupun mengajari mengaji

Saya tidak menyalahkan profesi beliau, karena saya sendiri melihat banyak dari mereka yang berprofesi serupa namun mampu menjaga iman.

Suami saya tak tahan godaan menurut saya. Beliau sering dipanggil ke kampung sebelah untuk mengajar mengaji, terkadang dengan berbagai alasan beliau tidak pulang satu sampai dua hari. Saya tidak menaruh curiga sedikitpun.

Hingga pada suatu siang datang seorang pemuda ke rumah kami. Mengabari jika istri dari suami saya sedang melahirkan, sehingga kedatanganya ditunggu untuk mengadzaninya ketika sang anak lahir.

Ya Allah… Hancur hati saya, tapi saya menyadari ini bukan mimpi. Sungguh saya mengira si pemuda ini salah alamat.. Tapi dia menyebut nama suami saya dengan lengkap.

Saya yang saat itu juga sedang hamil, hanya bisa terduduk lemas. Mencoba tak percaya saya bertanya siapa perempuan yang telah dinikahi suami saya secara diam-diam.

Dia menyebut satu nama, perempuan yang saya kenal, teman sekolah saya, anak dari mantan kepala desa kampung tersebut. Dia janda yang belum memiliki anak. Hati saya luluh lantah seketika itu.

Mbak Dian, terkadang Tuhan itu Maha Meledek.

Saya merasa Tuhan meledek saya. Apa kekurangan saya? Saya hampir tak pernah absen memenuhi panggilanNya, kecuali pada saat halangan. Jika memang tidak puas dengan saya, seharusnya ia bisa bicara baik-baik sama saya. Jika ia tak lagi mencintai saya, semestinya ia berkata kepada saya, dan sejujurnya meski ini pilihan terburuk, saga lebih baik memilih dia untuk menceraikan saya.

Saat itu saya merasa ingin mengamuk sama Gusti Allah. Tak ada satu orangpun yang rela jika miliknya terbagi. Tak ada satu wanitapun yang mau berbagi suami. Apalagi dengan dalih poligami.

Bagi saya, suami saya tetaplah berzinah di belakang saya. Pengkhianatan kepada seorang istri yang ditutupi dengan dalih nikah siri. Karena sampai matipun saya tak mengizinkan ia membagi dirinya, kecuali saya telah meninggal.

Janji-janjinya hanya sekadar pemanis belaka, yang sama sekali tak dapat dipercaya. Bahkan saya tau, dia yang berkata tak akan pernah mencintai wanita lain apalagi berpoligami.

“Allah telah menyatukan kita. Jika kamu tak ijinkan aku, maka tak akan pernah aku melakukannya,” itu kata-katanya yang masih saya ingat sampai detik ini.

Yang Mbak Dian alami itulah yang saya alami.

Saya juga merasa seperti dijebak dan harus menerima pernikahanya dengan perempuan lain. Jika tidak maka kita harus bercerai, dan cerai dibenci Allah, maka saya tidak akan masuk surga.

Namun kemudian saya memberikan pilihan, saya atau dia. Jika memilih dia maka ceraikan saya. Dan jika memilih saya maka ceraikan dia.

Tahukah apa yang dia pilih.

Ia kekeuh memilih tidak menceraikan keduanya. Ia tak bisa menceraikan dia karena ia berhutang budi dan materi. Ia juga tak mau berdosa. Itu alasanya. Bukankah menikah di belakang saya juga merupakan dosa? Kenapa masih dia lakukan.

Maka sayalah yang memilih. Saya memilih pergi dan pulang ke rumah orang tua saya dengan perut saya yang besar.

Saya angkat kaki bersama dua anak saya yang masih kecil-kecil jam 10 malam menuju terminal bus. Ongkospun pas-pasan. Saya tidak paham di mana hati nuraninya, tega-teganya mengkhianati saya dan anak-anak kami demi perempuan lain.

Malam itu saya tak butuh belas kasihan darinya. Karena yang saya lihat, suami saya bukanlah suami yang saya kenal. Ia tak lebih dari peselingkuh yang bertopeng agama. Tak ada tempat lagi di hati saya. Ampuni saya ya Allah.

Mengingatnya air mata saya kembali bercucuran.

Dear Mbak Dian, sekarang sungguh saya percaya, Allah tak akan pernah memberikan cobaan diluar kemampuan kita.

Saya telah melewatinya.

Saya juga percaya, semua akan indah pada saatnya.

Keep strong.

Majalengka, 22 Agustus 2017

Arini⁠⁠⁠⁠

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends