Di Sini Ada Hutan Perempuan yang Terlarang Bagi Laki-laki
- Post AuthorBy Yulika Anastasia
- Post DateSun Apr 22 2018
“Hutan perempuan, ini menjadi mall-nya kami, mall kehidupan warga Enggros. Di sana mama-mama mencari bia (kerang), kepiting, dan ikan, “ terang Orgenes Meraudje, Kepala Kampung Enggros di atas speed boat yang tengah melaju di Teluk Yotefa, Jayapura.
Menyusuri hutan perempuan adalah tujuan saya bersama beberapa rekan dari Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), dalam rangka Hari Kartini. Namun kami harus singgah di dermaga Kampung Enggros terlebih dahulu beberapa saat. Pasalnya, bapak kepala kampung yang notabene adalah seorang pria, menurut aturan adat pria tidak diijinkan memasuki hutan perempuan.
Tak lama seorang ibu muda pun datang, untuk mengantar kami ke sana menggunakan speed boat. Hutan perempuan, berupa hamparan hutan bakau seluas 8 hektar yang berada tak jauh dari kampung.
Hutan perempuan, dalam bahasa lokal disebut Tonotwiyat, hak ulayat milik suku asli Enggros. Hanya kaum perempuan yang boleh memasuki hutan ini, kaum pria dilarang.
Menyusuri Tonotwiyat, kami berjumpa dengan tiga orang mama yang tengah mencari bia; Mama Ani Meraudje (65 thn), Nela Hababuk (62 thn) dan Agustina Iwo (45 thn).
“Inilah hutan perempuan di sini kami mencari bia, sambil bercerita masa lalu, biar kami ketawa tak ada yang dengar. Kalau ada laki-laki datang dan kami melihatnya, nanti dia kena denda adat,” kata Mama Ani Meraudje (65 thn).
Cara perempuan mencari bia ini pun cukup unik. Mereka mencari bia secara berkelompok menggunakan perahu tradisional (kole-kole). Mama-mama ini tanpa mengenakan busana berendam dalam rawa-rawa sementara kaki berusaha menapaki dasarnya. Jika ada bia yang terinjak segera dijepit dan diangkat menggunakan kaki.
“Kebiasaan ini turun temurun. Jadi, kami percaya jika mencari bia dengan tidak mengenakan pakaian, maka bia akan cepat didapatkan. Sebab, kalau pakai pakaian, badan gatal. Ini sebabnya hutan perempuan tidak bisa didatangi laki-laki,” terangnya.
Di Hari Kartini ini, mama-mama punya harapan yang sederhana, agar pemerintah melindungi hutan perempuan dari sampah yang hanyut dan masuk ke sana. Sebab, hutan perempuan menjadi sumber makanan mereka. Hasil yang didapatkan pun, sebagian untuk dikonsumsi dan sebagian untuk dijual.
Setelah berbincang hangat dan melihat betapa gigihnya mama-mama ini bekerja sejak pagi dan bergulat dengan lumpur di rawa-rawa bakau, kami pun kembali ke kampung untuk bertemu dengan Kepala Kampung dan Ondoafi (Kepala Suku).
Ondoafi Enggros yang kami jumpai, Bapak John Sanyi, ada sanksi adat bagi laki-laki yang masuk ke sana, yakni denda berupa manik-manik.
“Kalau sudah tahu ibu-ibu sedang ada di sana, dan laki-laki sengaja masuk ke sana, berarti dia berniat tidak baik. Ada sanksi adat yang berlaku, dendanya manik-manik,” terangnya.
Manik-manik, merupakan harta yang sangat berharga bagi suku asli yang bermukim di Enggros. Biasanya manik-manik digunakan dalam acara pembayaran mas kawin. Di Enggros sendiri, dihuni suku asli yakni Sanyi, Drunyi, Meraudje, Itaar dan Semra.
Sementara itu, Kepala Kampung Enggros, Orgenes Meraudje mengatakan pihaknya akan mengupayakan ada peraturan kampung untuk melindungi hutan perempuan.
“Akan ada peraturan kampung, agar hutan perempuan tetap dilindungi semua pihak. Bagi warga kampung dan orang luar yang datang ke kampung, misalnya tidak boleh menebang hutan sembarangan,” tutur Orgenes Meraudje.
Menurut Orgenes, jika terus dilestarikan hutan perempuan akan menjadi wisata alam yang bisa dikunjungi khususnya untuk perempuan. (YA)
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)