Skip to main content
Categories
BeritaEkonomiHeadlineNasionalPolitikSosial

Ekonomi Digital, Unicorn dan Kesiapan Kita

Ekonomi digital adalah suatu keniscayaan zaman. Suka tidak suka, mau tidak mau, dunia memang sedang mengarah ke sana. Pilihannya, ikut atau tertinggal. Terdengar kejam, tetapi begitulah kenyataannya. Ketika Pak Jokowi menyinggung tentang marketplace dan Unicorn dalam debat kedua putaran Pilpres (17/2/2019) menurut saya itu adalah sebuah bahasan yang normal saja, sangat wajar. Menjadi unicorn (startup yang nilai asetnya diatas 1 milliar dollar) atau bahkan decacorn (startup dengan nilai diatas 10 miliar dollar) adalah memang mimpi semua pegiat startup.

Sekarang masalahnya, siapkah kita berada di era ini? Jika kita memang sudah siap, maka kita tidak perlu defensif jika presiden atau siapapun juga membahas tentang topik ini. Ini kenyataan hidup. Jika ingin maju dan tetap survive, kita harus tahu apa itu ekonomi digital dan bagaimana menghadapinya. Revolusi Industri 4.0 mencakup perubahan aktifitas perekonomian yang terjadi secara cepat saat ini, dimana model ekonomi konvensional yang kita kenal sudah berganti ke platform digital. Orang tidak perlu lagi pergi ke pasar hanya untuk beli beras atau pergi ke pengkolan untuk cari ojek karena sekali klik lewat smartphone, semua kebutuhan mereka terlayani.

Menarik sekali mempelajari bagaimana pasar bisa berubah. Pengusaha pariwisata Bali yang biasa berhubungan dengan konsumen global pasti sangat paham. 30 tahun yang lalu, artshop-artshop sangat populer di Bali. Artshop adalah ladang dollar bagi seniman Bali. Jaman kemudian berubah, dari tradisi “artshop” ke tradisi “acung”. Mereka yang bisa mendapatkan banyak penjualan bukan lagi yang diam menunggu pembeli di artshop tetapi mereka yang menjemput pembeli, menawarkan barang dagangannya ke pantai-pantai dan objek-objek wisata. Sehingga kemudian muncul banyak OKB (Orang Kaya Baru) dari bisnis acung ini. Dan sekarang bagaimana? Tradisi Artshop dan Acung sudah digantikan dengan menjamurnya One Stop Shopping seperti jaringan Toko Krishna Bali dimana wisatawan dapat mencari semua kebutuhannya di satu tempat. Kehadiran One Stop shopping semacam ini mengancam pedagang-pedagang kecil yang hanya mampu menyediakan satu atau beberapa jenis barang saja. Ditambah lagi adanya kompetitor dari olshop (online shop) yang memberi kemudahan orang untuk memilih dan berbelanja maka semakin terpuruklah artshop-artshop tersebut. Begitulah perubahan dan kompetisi pasar terjadi.

Ternyata yang lebih gesit bisa menangkap peluang ekonomi digital adalah anak-anak muda dibawah usia 40 tahun. Perubahan menurut mereka ukurannya bukan lagi bulan ataupun tahun, tetapi hari, menit bahkan detik. Saya punya sebuah pengalaman pribadi. Saya diminta menjadi konsultan sebuah perusahaan startup yang sudah cukup mapan di Indonesia untuk membuat rencana community engagement mereka. Startup ini pemilik dan staffnya semua anak-anak muda dibawah 40 tahun. Tetapi mereka sudah punya loyal customer sekitar 2 juta orang. Dan angka 2 juta orang itu mereka dapatkan kurang dari 4 tahun. Ketika saya membuatkan rencana community engagement untuk 1 tahun pertama, mereka protes. Kelamaan Bu, katanya. Lho, ini kalian mau memberdayakan masyarakat atau mau apa?, saya tanya. Mereka jawab, tetapi kalau satu tahun nanti tidak bisa ikut ritme perusahaan karena direction perusahaan bisa berubah setiap saat sesuai keadaan pasar. Akhirnya, saya membuatkan skema community engagement jangka panjang, jangka pendek dan kekinian seperti harapan mereka. Jadi begitulah. Ternyata anak-anak muda ini lebih terbuka, antisipatif dan progresif dalam menyambut perubahan.

Mentalitas seperti inilah yang sebenarnya dibutuhkan di era digital ini. Cerdas, cepat dan (mesti) bijaksana. Perusahaan startup memang sangat menjanjikan seseorang sukses dengan cepat. Mereka tidak perlu melalui tangga karir untuk menjadi seorang milliunner. Tetapi perusahaan startup ini juga sangat rentan untuk ambruk jika tidak memiliki value dan integritas yang baik. Marketplace berbeda dengan pasar biasa. Para investor mau mengucurkan dana untuk sebuah startup hanya dengan melihat “potensi” dari startup tersebut 10, atau 20 tahun yang akan datang. Oleh karenanya banyak startup yang sekarang sebenarnya masih merugi dalam operasionalnya, tetapi mereka memiliki valuasi yang sangat tinggi, sampai jutaan bahkan milliaran dollar. Bisa dicek, berapa sebenarnya keuntungan rill yang dimiliki ole 4 Unicorn Indonesia saat ini, yaitu: Traveloka, Tokopedia, Gojek dan Bukalapak.

Dalam kasus Bukalapak yang baru saja terjadi, kita bisa belajar bahwa bagaimana masa depan suatu startup sangat bergantung pada konsumennya. Ketika sudah tidak ada lagi kepercayaan konsumen/pasar terhadap suatu startup, maka habislah dia. Gerakan #uninstall Bukalapak berarti kerugian material yang sangat besar untuk perusahaan rintisan yang sudah bergelar unicorn tersebut. Syukurlah, Presiden Jokowi dengan bijaksana menghimbau agar masyarakat menghentikan gerakan uninstall bukalapak karena saat ini Indonesia memang sedang giat-giatnya mendorong tumbuhnya startup-startup yang berkualitas. Semoga kasus Bukalapak dan perdebatan tentang Unicorn dapat membuka mata kita tentang dunia yang kita hadapi saat ini. Syukur-syukur bisa menjadi pembelajaran untuk lebih maju lagi baik sebagai pribadi anak bangsa.

(Pande K Trimayuni)

Penulis adalah Lulusan The London School of Economics and Political Sciences (LSE) Inggris dalam bidang pembangunan dan globalisasi.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends