Haruskah Menyekolahkan Anak Sejak Dini?
- Post AuthorBy Diasya
- Post DateTue Nov 14 2017
“Di, Deandra sudah pandai menyanyi. Kamu nggak niat masukin di PG A? Di sana, anak-anak bisa mendapatkan fasilitas begini… bla bla bla.”
Duh, saya sering mendapatkan nasehat macam itu dari para ibu di sekeliling rumah yang memaksa Deandra masuk Playgroup. Memang sih, Deandra sudah berusia lebih dari dua tahun. Tapi, apa harus menyekolahkan anak saat berusia dua tahun?
Periode keemasan anak adalah 0-5 tahun yang merupakan masa paling bagus untuk merangsang perkembangannya. Anak akan menunjukkan minat serta bakat pada jenjang usia ini. Tapi, bukan berarti anda harus melakukan pendidikan anak terlalu belia, bukan? Apalagi jika dasar melakukan hal itu hanya karena tren masyarakat bukan memperhatikan metode pengajaran yang benar.
Satu hal yang sering saya amati dari para ibu di sekitar tempat tinggal adalah memaksa anak belajar sejak dini di Playgroup karena alasan tren. Nggak heran deh menemukan para ibu yang sibuk menenteng tas branded saat mengantar anak pergi ke sekolah. Rutinitas itu pun berujung dengan arisan sosialita tiap bulan yang kerap mereka posting di media sosial. Sebenarnya anak atau ibu sih yang harus belajar?
Nah, bagaimana kabar si anak sendiri? Setahu saya, beberapa anak yang memang memiliki kesiapan memasuki pra sekolah mulai menunjukkan kemampuan sosialisasi lebih baik. Namun, beberapa dari mereka ada yang berhenti di tengah jalan karena menolak sekolah bahkan cenderung memiliki perubahan sikap yang lebih agresif. Apalagi tuntutan dari para orangtua yang menginginkan sang anak serba bisa diusia relatif muda. Nggak heran deh menemukan anak usia tiga tahun yang harus les musik, les calistung, padahal pagi hari dia harus menjalani pendidikan formal.
Saya ngeri dengan berbagai hal yang jarang para ibu pikirkan mengenai pendidikan anak usia dini. Seorang anak yang siap belajar usia dini itu tergantung dengan kesiapan masing-masing anak. Kita tidak bisa menyamakan kesiapan satu anak dengan yang lain. Seperti Deandra misalnya, karena saya bukan ibu pekerja maka dia menolak pergi ke sekolah seperti keponakan-keponakan yang lebih besar.
“Deandra mau sekolah?”
Langsung deh dia bakalan pundung! Hehehe. Dia bilang nggak mau pisah sama sang ibu. Saya pun memaklumi sebab Deandra masih berusia dua tahun. Alternatifnya, saya memberikan cara pengajaran sendiri seperti membacakan buku cerita, belajar mendongeng hingga bernyanyi secara otodidak di rumah. Terbukti Deandra mampu menunjukkan minatnya di bidang seni tanpa harus menjalani pre school yang mungkin akan membuatnya stress.
Jika kelak dia sudah menunjukkan kesiapan menjalani sekolah seperti mulai menggendong tas ke mana-mana atau pura-pura ingin sekolah maka saya akan mengantarnya langsung ke tempat belajar formal. Anak yang belum memberikan indikasi keinginan dan kesiapan belajar di tempat formal akan membuatnya trauma. Kita jelas tidak ingin melihat mereka mogok belajar atau mengalami stress akibat paksaan, bukan?
Nah, para ibu, yuk ubah mindset kita bahwa seorang anak akan menjadi cerdas jika bersekolah sejak awal. Hal itu malah bisa menjadi bumerang jika sang buah hati belum memiliki kesiapan total. Pastikan pula kita selektif memilif sekolah yang bisa menjadi sarana perkembangan optimial anak baik fisik atau emosional. Ingat, anak lebih suka bermain sambil belajar, bukan?
Paksaan bisa membuat anak mengalami perubahan sikap menjadi lebih hiper atau cenderung pemurung. Jika kita memang ingin melihat kesiapan sang anak mengikuti pendidikan usia dini, coba deh melakukan masa trial seminggu atau sebulan. Jika anak menangis histeris atau memaksa pulang maka bisa dipastikan dia memang belum siap menjalani pendidikan dasar. Percayalah, setiap anak memiliki masa kesiapan sendiri hingga anda tak perlu khawatir dia akan tertinggal dari teman-temannya.
Nah, Bu, jangan memaksa anak masuk sekolah hanya karena tren, ya? Jangan biarkan ia kehilangan masa kecil yang bahagia hanya karena tuntutan kita sebagai orangtua jaman now.
- Post Tags#anak#dini#pendidikan#usia
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)