Hazrat Babajan: Meninggalkan Kebangsawanan untuk Menjadi Sufi
- Post AuthorBy Peran Perempuan
- Post DateTue Sep 05 2017
Tuty Yosenda & Erri Subakti
Tak banyak orang yang tau tentang Hazrat Babajan. Seorang perempuan keturunan bangsawan di sebuah negeri bernama Balochistan, Afghanistan. Ayahnya adalah seorang menteri di negeri tersebut. Namun Hazrat Babajan yang terlahir sekitar tahun 1806 (tak ada catatan biografi yang pasti, antara 1790-1820) dengan nama Gulrukh meninggalkan segala unsur keduniawian yang melekat pada dirinya.
Dengan status sosial yang tinggi ia memperoleh pendidikan yang layak. Ia mampu berbahasa Arab, Persia, dan Urdu, disamping bahasa negerinya sendiri, Pashtu. Ia juga merupakan seorang hafizah, penghafal Alquran.
Sejak kecil ketertarikannya dengan spiritualisme memang nampak jelas. Ia sering larut dalam meditasi, khusyuk menyepi dalam doa-doa kepada Tuhan.
Menginjak usia delapan belas tahun, orang tua Gulrukh merencanakan sebuah pernikahan untuk dirinya. Gulrukh menolak tradisi perjodohan tersebut. Ia lari. Dengan mengenakan burqa, ia pergi ke Peshawar.
Gulrukh adalah seorang pecinta sejati sejak kecil, dan cinta pertamanya jatuh pada Al-Quran -yang menjadikannya seorang Hafizah- , juga pada doa dan meditasi. Teman-teman sepermainannya selalu merindukannya, karena Gulrukh yang penyendiri ini lebih menyukai keheningan. Seperti namanya, gadis ini sangat cantik seperti mawar . Namun mawar yang satu ini bukanlah mawar biasa; ia adalah mawar liar yang tak sudi dibatasi dalam pot atau piala. Maka pada suatu hari, si mawar Balochistan itu menghilang selamanya dari kehidupan yang dicintainya, tepat pada hari yang telah dipaksakan sebagai hari pernikahannya. Seorang diri gadis berusia delapan belas tahun itu menjelajahi pegunungan, demi memelihara cintanya yang telah diputuskan hanya untuk Tuhan.
Namun dalam pelariannya, masalah terbesar Gulrukh bukanlah tentang bagaimana menghindari tentara ayahnya atau menghadapi bahaya-bahaya lainnya. “Sumber masalah” itu ada dalam dirinya, membuat jiwanya terbakar begitu dahsyat, hingga ketunawismaannya itu tak pernah jadi masalah.
“Masalah” Gulrukh diawali dari cinta, dan cinta itu merupakan siksaan yang tak tertahankan saat terpisah dengan Yang Dicinta. Selama bertahun-tahun, orang-orang di Rawalpindi lalu terbiasa dengan seorang “gadis gila”, yang berkeliaran di jalan dan lorong-lorong seakan “tanpa tujuan”.
Ia lupa pada rasa lapar, haus dan kantuk, karena semua inderanya terpusat pada rasa rindu dan mabuk. Hingga suatu hari sampailah ia di ujung keputusasaan, dan hatinya meledak melantangkan jeritan : “Datanglah kemari, wahai Kekasih ! Datanglah, atau aku akan mati !”
Tepat di puncak patah hatinya, seorang guru Hindu hadir untuk menyelamatkannya.
Gulrukh lalu menjalani latihan pertapaan yang ketat di Pakistan, dengan gunung dan alam liar sebagai medannya, dan gua kecil terasing sebagai kamar tidurnya. Tujuh belas bulan ia bersamadhi, sang guru lalu memintanya pergi. Ke Punjab ia melangkahkan kakinya, meski ia merasa masih terlalu “lemah” di hadapan pesona Ilahiah yang telah lama mencengkeram batinnya. Bahkan kali ini api cinta itu bukan hanya membakar dengan penuh dendam, namun “memakan habis” Gulrukh dari dalam.
Dunia ini tak lebih dari penjara yang mencekam bagi pecinta yang sedang “mabuk” dan berada dalam kegilaan. Hampir dua puluh tahun sejak Gulrukh melarikan diri dari Balochistan, kini perempuan -yang wajahnya sudah sulit dikenali itu- ingin melarikan diri menuju Sang Kekasih yang paling didambakan.
“Kemarilah Kekasih ! Kalau Engkau tidak datang, aku yang pergi. Aku tak bisa menunggu lagi!”
Dan jeritan hati terdalam ini terdengar jauh, hingga seorang guru bernama Maula Shah datang untuk menyelamatkannya.
Melalui bimbingan Maula Shah, Gulrukh -yang kini berusia 37 tahun- berhasil “membakar habis dirinya”, menyisakan ruang yang sempurna bagi Sang Kekasih untuk bersatu dengannya. “Engkau memang harus mati untuk memberi ruang pada Yang Maha Hidup”, dan Gulrukh telah mati berkali-kali. Dan ketika Yang Maha Hidup memanifestasikan diriNya dalam dirimu, engkau tiba-tiba kehilangan kendali atas dirimu sendiri. Itu sebabnya mulut Gulrukh meneriakkan kebahagiaan yang amat menyesakkan : “Tak ada seorang pun selain Aku. Akulah Allah! Ana al Haq !”
Ia berada dalam keadaan “Brahmi-Bhoot” (majzubiyat), dimana kesadaran diri dan kesadaran alam semestanya memudar. Ia menyadari kesadaran Ilahiahnya, namun kesadaran tubuh maupun pikirannya berada di luar kendalinya. Saat seorang pecinta mengalami perspektif Cahaya Yang Sempurna untuk pertama kalinya, dunia tiba-tiba bersembunyi dari terang dan silaunya.
Kebahagiaannya memang tak terkatakan, namun engkau tidak diciptakan untuk terus-menerus berada dalam kondisi Penyerapan Ilahiah yang Tanpa Batas seperti itu. Jadi setelah Gulrukh mencapai kesempuraan rohani, ia harus belajar mengendalikannya. Karena sebuah peran luar biasa telah disiapkan untuknya; dan melalui orang-orang seperti dialah Tuhan akan mendatangkan kekuatan yang membangkitkan.
Gulrukh telah menjadi manusia yang terpilih untuk menjadi refleksi Ilahiah.
Kelompok fanatik bersenjata menganggap Gulrukh melakukan penistaan agama. Ia ditangkap, anak-anak melempari Gulrukh dengan batu, lalu mereka menguburkannya hidup-hidup!
Kuburan itu lalu ditinggalkan tak bernama….
Ajaib. Gulrukh tetap hidup. Tak ada yang tau pasti bagaimana dia bisa bertahan, namun sejak itu Gulrukh dikenal sebagai Hazrat Babajan.
Gulrukh telah “dibunuh dan dikubur” sebagai jalan transformasinya menjadi guru yang paripurna.
Melalui mereka yang telah ‘membunuh’-nya, nama Hazrat Babajan menjadi berita yang menghidupkan namanya.
“Bukankah itu perempuan gila yang telah kita bunuh dan kita kuburkan lebih dari sepuluh tahun lalu di Punjab? Bagaimana dia bisa begitu segar-bugar, ataukah ia punya saudara kembar?”
Sejumlah lelaki tertegun dan saling berpandangan. Tubuh mereka gemetar, seakan baru melihat hantu.
Sejak kejadian itu Hazrat Babajan sempat menempuh perjalanan ke wilayah Timur Tengah, dari mulai Suriah, Libanon, dan Irak. Lalu ia melanjutkan ke Arab untuk menunaikan ibadah haji di Mekkah. Selain khusuk beribadah di sana ia juga kerap memberi makan orang kelaparan dan merawat orang yang sakit saat menunaikan ibadah hajinya. Usai itu ia lanjut ke Madinah. Baru kemudian ia ke Baghdad, Irak, untuk menempuh perjalanan kembali ke Punjab.
Hazrat Babajan adalah sufi perempuan kedua (yang diketahui) sesudah Rabia, namun ia lebih suka dianggap sebagai seorang Ibu sekaligus seorang Tuan.
Ia sumber spiritualitas bagi semua santa (wali) pada masanya. Namun ia menyembunyikan dirinya dalam baju lusuh di jalanan kumuh, dan selama 35 tahun terakhirnya menetap di bawah pohon mimba di kota Poona. Anak-anak kecil melemparinya dengan batu, orang-orang tak mengenalnya dan menganggap sebagai penyihir gila. Tak seorangpun mengira betapa besar kemegahan duniawi yang ditinggalkannya, namun ia memiliki kemegahan Ilahiah dalam tatapan matanya. Ciumannya menyembuhkan orang buta, ucapannya menyembuhkan orang yang sakit, ajarannya mengubah seorang pemuda bernama Merwan menjadi Meher Baba (salah seorang ‘guru’ yang mengajarkan sufisme di Amerika).
Kehadiran Babajan menempatkan Poona sebagai kota ziarah, dan setiap hari puluhan orang mengantre untuk memperoleh berkah. Perasaan diberkahi itu muncul saat Babajan sudi menerima hadiah mereka, padahal Babajan mengembalikannya pada orang-orang yang lebih papa.
Hingga suatu hari, di atas pembaringannya di sebuah rumah sakit, ia berkata : “Sekarang saatnya bagiku menutup toko. Tak seorang pun mampu membayar barang-barangku. Jadi aku mengembalikannya kepada Pemiliknya .”
Babajan akhirnya pergi menjumpai Kekasihnya di usia 125, dan ribuan umat Islam dan Hindu mengikuti prosesi pemakamannya. Tak banyak yang tahu, bahwa Hazrat Babajan yang tak pernah menikah itu memiliki sejumlah “anak” yang kelak menjadi wali yang mengguncang dunia.
Sampai hari ini, orang-orang dari berbagai agama masih menziarahi makamnya, yaitu sebuah tempat kerja kesayangannya di bawah pohon mimba.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)