Her Story: Cara Ampuh Sembuhkan Patah Hati
- Post AuthorBy Arek Tembalangan
- Post DateSat Nov 04 2017
“Let Your Body Do the Thinking”
Aku patah hati. Sedalam-dalamnya, sehebat-hebatnya.
Orang lain mungkin akan tertawa dan mencibir. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang telah mengalami babak-belurnya perceraian dan membesarkan anak seorang diri, masih bisa termehek-mehek karena cinta?
Tapi begitulah adanya.
Sejak tahun 2016 aku seperti orang hilang akal. Begitu drastis perubahan emosi yang kualami. Aku bisa merasakan euforia hanya karena si Dia membalas senyumku, namun aku juga bisa tak tidur berhari-hari karena menangis semalaman ketika dia terang-terangan menolak semua upayaku untuk mendekatinya.
Demikian sakitnya hingga aku tergoda untuk kembali ke pola lama: mencari rasa sakit fisik untuk membuatku “lupa” akan sakit dalam hati.
Godaan itu seakan mendapat jalannya ketika sepulang kantor aku melihat spanduk tempat latihan bela diri dekat rumahku. Pikiran yang terlintas dalam pikiranku hanyalah: latihan bela diri bisa bikin sakit. Walaupun sepenuhnya sadar bahwa latihan bela diri bukanlah sarana untuk menyakiti diri sendiri, tanpa pikir panjang aku mendaftar.
(Calon) pelatihku sempat bertanya kenapa baru sekarang aku ingin belajar bela diri, dan aku berbohong padanya. Kubilang, aku sudah ingin berlatih sejak dulu, namun baru sekarang aku punya waktu. Andai waktu itu dia tahu alasanku yang sebenarnya, dia pasti sudah mengusirku saat itu juga.
Bisa ditebak, latihan pertama sangat berat buatku. Tidak hanya karena aku sudah bukan remaja lagi dan tidak pernah berlatih bela diri sebelumnya, namun karena aku sengaja menirukan gerakan-gerakan jatuhan, kuncian, dan lain-lain yang sesungguhnya belum waktunya kulakoni. Tak kuhiraukan segala sakit dan nyeri, karena bukankah karena itu aku menjalani latihan ini?
Sesuai harapan, malam itu sekujur tubuhku begitu pegal dan kaku sehingga yang kurasakan hanyalah nyeri nyaris dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hatiku yang berdarah-darah karena patah hati jadi terlupakan.
Sesuai harapan, malam itu, untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan, aku bisa tidur nyenyak.
Sejak itu aku nyaris tak pernah bolos latihan, karena sepulang latihan, kualitas tidurku membaik. Kecuali ada urusan kantor yang tak bisa ditunda, aku selalu berusaha datang latihan.
Mudahkah mulai berlatih bela diri ketika usia sudah tak muda lagi? Tentu tidak. Tulangku sudah telanjur kaku. Ototku sudah menjadi timbunan lemak. Walaupun tidak ada yang berkomentar, tetap ada rasa canggung berlatih bersama orang-orang yang usianya jauh lebih muda dariku. Aku juga seringkali kesulitan menghapal gerakan jurus yang diajarkan.
Dengan berlalunya waktu, tubuhku mulai menyesuaikan diri. Kelenturan tulang dan sendiku mulai kembali. Pegal dan nyeri sehabis berlatih mulai berkurang. Walaupun aku sempat khawatir tidak bisa tidur karena “kehilangan” sensasi yang ditimbulkan rasa sakit, ternyata rasa lelah bisa membuatku tetap lelap hingga pagi datang.
Belakangan aku juga menyadari bahwa berlatih bela diri melepaskan kecenderunganku untuk overthinking dan membiarkan otakku beristirahat dari segala analisa dan pertimbangan yang ujung-ujungnya membuat resah. Aku belajar membiarkan tubuhku bereaksi berdasarkan insting dan refleks. Aku belajar percaya sepenuhnya pada koordinasi segenap anggota tubuhku untuk untuk mengatasi tantangan.
Siapa sangka berlatih bela diri bisa membuatku merasa lebih baik? Keberhasilan kecil yang bisa dicapai tubuh “tua” ini, seperti bisa melakukan split, front roll, dan back roll, membuatku melihat diri sendiri secara lebih positif. Aku bisa menghargai apa yang sudah aku capai hingga sejauh ini. Ujungnya, aku jadi bisa meredam suara-suara dalam kepalaku yang mengatakan bahwa aku jelek, gendut, tak berharga, bodoh, dan tak layak dicintai.
Belajar bela diri juga membuatku belajar melepaskan emosi secara terukur. Benar, aku bisa menjatuhkan lawan. Tapi aku belajar untuk mengukur kekuatanku sendiri sehingga apapun yang kulakukan, aku tidak melukai orang lain. Aku belajar mengendalikan perasaan di bawah tekanan sehingga bisa lebih tenang dan, ujungnya, mengurangi keinginanku untuk melukai diri sendiri.
Dulu kupikir seseorang belajar bela diri hanya agar tubuhnya sehat. Siapa sangka, belajar bela diri juga bisa menyehatkan hati? Aku tidak berambisi jadi pendekar. Aku hanya ingin bisa hidup dengan baik.
Tahun 2017 menuju akhirnya. Apakah aku sudah move on dari patah hatiku? Belum sepenuhnya, tapi aku tahu aku akan baik-baik saja. Banyak jalan menuju pemulihan, dan ini jalan yang aku pilih. Memang tidak mainstream, tapi aku mendapatkan lebih dari sekedar memar-memar yang bisa hilang dalam beberapa hari.
I let my body do the thinking, and I find freedom I’ve never known before.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)