Skip to main content
Categories
Her StoryInspirasi

Her Story: Episode Kerasnya Hidup Seorang Indigo

Kontributor: Lygia ‘Neng Hujan’

Adalah sebuah realitas hidup yang selama ini tidak pernah saya sembunyikan, namun tidak semua orang yang mengenal saya tahu kisah tersebut.

Ya, sejak kecil saya adalah korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Saya baru berhenti mendapat siksaan fisik dan verbal secara rutin saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Berhenti total? Tentu tidak. Hingga saya menikah dan memiliki 2 anak pun, KDRT masih sering terjadi, namun saya sudah jauh lebih kuat secara mental untuk menghadapinya.

Sebagai seorang anak indigo, di usia ke-17 saya bahkan pernah dibawa oleh orangtua ke psikolog dan psikiater karena dianggap sakit jiwa, hingga harus mengonsumsi obat antidepresan selama beberapa bulan, sampai akhirnya saya memilih untuk menolak segala macam bentuk obat karena justru makin membuat saya sering berhalusinasi.

Dahulu, alasan saya menikah dalam usia muda pun sedikit banyak karena saya ingin segera keluar dari rumah. Ingin memiliki keluarga sendiri, memiliki pengayom keluarga yang saya harap mampu melindungi saya dari segala badai terutama dari masa lalu. Namun, rupanya pernikahan yang hanya mampu bertahan 6 tahun dan menghasilkan 2 anak itu, hanyalah bentuk baru dari pengalaman masa lalu yang traumatis.

Saya yang saat itu masih berkuliah di sebuah kampus negeri paling terkenal di Depok, harus mati-matian seorang diri menyelesaikan skripsi agar bisa lulus dalam kondisi hamil besar anak kedua. Tanpa dukungan suami, bahkan orangtua. Kondisi suami yang kala itu belum mendapatkan pekerjaan di Bandung tak membuat langkah saya surut. Sejak hamil anak pertama, tiap minggu saya langganan datang ke pasar induk membawa sekardus buku-buku kuliah dan koleksi bacaan untuk ditukarkan dengan uang Rp 30.000 di pedagang buku loakan.

Uang itu, saya serahkan kepada pasangan untuk biaya dia melamar pekerjaan, saya hanya pegang Rp10.000 untuk jajan roti ala warung seharga 500-an (maklum hamil muda).

Menyusul kegagalan pernikahan pertama, saya sempat menikah dengan seorang lelaki yang tidak saya cintai. Lagi-lagi hanya karena beliau tampak sayang kepada anak-anak dan orangtua saya belaka. Nyatanya, pernikahan tersebut hanya mampu bertahan selama 15 bulan karena bertubi-tubi saya mengalami siksaan lahir dan batin. Hajaran, tendangan, bahkan ancaman pembunuhan pernah saya terima dari ia yang seharusnya menjadi imam bagi keluarga kecil kami. Meski setelahnya ia selalu menangis dan bersujud mencium kaki saya untuk meminta maaf.

Saya berkata kepada diri sendiri, “CUKUP SUDAH”, dan saya memutuskan mengakhiri semuanya tanpa airmata. Sejak saat itu, saya mengambil alih tanggung jawab sepenuhnya atas anak-anak saya seorang diri. Persetan apa kata orang tentang saya saat itu, saya memilih untuk menutup mata dan terus berjalan.

(EPISODE 1 KEHIDUPAN)

*Bersambung ke episode kedua nanti kalau saya mood ya. Pesan moral dari tulisan ini adalah, kita semua mungkin pernah memiliki masa lalu yang mungkin kelam dan menyakitkan. Namun, kesempatan untuk mengubah hidup bukan terletak pada sosok dewa penolong, melainkan ada pada diri, hanya diri… KITA SENDIRI.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends