Skip to main content
Categories
Her StoryInspirasi

Her Story: Putraku Gay

Diaz -anak lelakiku- masih kelas XI. Sekilas, dia sama saja dengan anak SMA lainnya. Tak ada yang aneh dari tingkah laku atau gerak-geriknya,  kecuali dia memang sedikit pendiam dan lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya sendiri. Wajar, namanya juga anak introvert.

Namun malam itu berbeda. Saat aku baru pulang bekerja, tak ada Diaz yang menyambutku di pintu depan. Pun tak ada makanan apapun di meja makan seperti yang biasa anak itu siapkan.

Begitu kucari, kudapati dia meringkuk di ranjang dengan mata sembab. Jantungku langsung berdebar hebat seiring melintasnya berita-berita terkait kasus bullying dalam benakku. Aku sungguh takut hal buruk terjadi pada anak semata wayangku ini.

“Diaz, kamu kenapa, Sayang?” tanyaku sambil mengelus rambutnya.

Mulanya anak itu bungkam. Diaz benar-benar enggan membuka mulutnya untuk berkisah. Namun kuyakinkan dia, bahwa segalanya akan baik-baik saja. Kubujuk dan kupancing dia agar menceritakan sumber kesedihannya. Kuharap dia akan menjawab, “Nggak papa, Ma. Aku cuma kangen ayah….” seperti biasanya.

Tapi rupanya aku salah besar. Apa yang kemudian diucapkan Diaz sungguh di luar dugaan dan membuat darahku mendidih seketika. Aku mati-matian menahan diri untuk tak menamparnya. Ibu mana yang tak emosi dan hancur hatinya saat mendengar pengakuan bahwa anak lelaki satu-satunya itu…, ternyata mencintai seorang pria.

Ya. Diaz, anakku itu rupanya gay. Dia menjalin hubungan tak wajar dengan guru olahraga di sekolahnya. Hubungan itu bahkan sudah terlalu jauh hingga membuat anakku terguncang begitu si guru pindah tugas ke pulau lain.

Bohong jika aku tak jijik dengan kenyataan ini. Tapi bagaimanapun, Diaz tetaplah anakku. Ketimbang menimpakan kesalahan padanya, aku lebih banyak introspeksi diri.  Kusadari bahwa anakku tak mungkin ujug-ujug menjadi gay. Pasti ada proses panjang yang terjadi sebelumnya.

Aku menyesali keteledoranku membaca sinyal-sinyal yang Diaz kirimkan. Sedari kecil, anak itu memang sering memperhatikan sosok lelaki yang jauh lebih tua darinya. Tapi kupikir itu hanya wujud kerinduannya pada sosok ayah yang tak sempat dimiliki. Suamiku sudah meninggal sejak Diaz masih berwujud janin usia 3 bulan.

Kesibukanku bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup membuatku tak punya banyak waktu untuk Diaz. Aku memang selalu menyisihkan waktu, mengajaknya ngobrol setiap makan malam. Kami bahkan sangat dekat. Tapi rupanya itu tak cukup. Ada lubang kosong di hatinya yang tak mampu kuisi sendiri. Dan…, mungkin saat itulah si oknum guru olahraga memanfaatkannya.

Terlepas bahwa kondisi Diaz ini adalah salah dan menyimpang, aku tak ingin menghakiminya. Anakku sudah tertekan dan menderita sendiri dengan “kelainan”nya itu. Tak perlulah aku menambahinya dengan kata-kata menyakitkan yang justru membuat batinnya makin tersiksa.

Satu hal yang pasti, anakku butuh pertolongan. Di atas remuknya perasaanku, aku masih bersyukur Diaz masih mau terbuka. Aku tahu berat baginya untuk mengakui hal memalukan ini,  terlebih pada ibunya sendiri.

Jika ibunya sendiri tak mampu menerima keburukan anaknya, maka pada siapa lagi dia akan mencari tempat mengadu?

Aku jelas tak bisa membiarkan hal ini begitu saja. Namun saat ini, bukan larangan atau khotbah ancaman neraka yang Diaz butuhkan. Dia butuh teman. Dia butuh penerimaan.

Ketika Diaz sudah yakin aku bisa dipercaya, barulah kami bisa bersama-sama mencari jalan keluar untuk memulihkan jiwanya,  juga jiwaku yang ikut terguncang. Mungkin dengan bantuan psikolog, pemuka agama,  atau guru spiritual.

Tapi itu nanti.

Saat ini aku hanya harus menguatkan diriku sendiri. Aku harus tegar terlebih dahulu untuk mampu mengajari anakku tegar. Bahwa hidup memang terkadang bisa sangat menyakitkan. Bahwa kadang kita tak punya pilihan lain kecuali menghadapinya.

Semoga belum terlambat.

Ibu AS,  Palembang⁠⁠⁠⁠

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends