Skip to main content
Categories
Her StorySosial

Her Story: Trauma Pelecehan Seksual di Masa Kecil

Tidak semua orang memiliki masa kecil yang indah, penuh keceriaan, canda, tawa. Memang, semua rasa bahagia itu tetap ada, tetap menghias di senyum setiap orang ketika masih bocah. Tapi terkadang, ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum dan tawa riang itu.

Sebuah rasa takut. Sebuah trauma yang tak bisa dia ceritakan kepada siapa pun.

Dulu, sewaktu masih bocah, saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya. Saya masih polos, masih tidak mengerti apa pun. Tapi sesuatu terjadi, seseorang yang begitu dekat dengan saya, mengeksploitasi saya, tubuh saya.

Saat itu saya tidak tahu jika apa yang terjadi pada diri saya adalah sebuah pelecehan seksual. Yang jelas, saya adalah tipe orang yang pendiam. Saya tidak berani mengatakan hal itu pada siapa pun. Saya adalah orang yang tertutup. Mungkin karena itu pula, “dia” berlaku seperti itu kepada saya. Karena dia tahu saya tidak akan mengatakan kepada siapa pun.

Lagipula, dia terlihat sangat baik di mata keluarga. Seiring bertambahnya usia, saya tahu apa yang terjadi itu adalah salah. Ketika seorang berlainan jenis kelamin memegang-megang tubuh kita, itu seharusnya tidak terjadi, bahkan sampai bagian vital. Tapi saya tetap bungkam. Kalau pun saya bicara, sepertinya tidak akan ada yang percaya.

Meski seingat saya memang tidak ada proses penetrasi, tapi tetap saja ketika saya tumbuh remaja itu membuat saya menjadi minder, terutama kepada teman laki-laki. Saya ingat betul, menstruasi pertama saya terjadi saat saya berusia 10 tahun. Hal yang menurut saya tidak wajar karena hampir semua teman perempuan yang saya kenal, mereka mengalami menstruasi sekitar usia 12 tahun ke atas.

Itu sebabnya saya bahkan tidak memberi tahu orangtua kalau saat itu saya sudah menstruasi. Saya selalu sembunyi-sembunyi saat membeli pembalut. Kadang saya bilang ke ibu warung kalau saya disuruh kakak beli pembalut, padahal buat saya sendiri.

Saya juga merasa aneh, ketika duduk di bangku SMP. Ketika beberapa teman yang suka menulis, membuat cerpen remaja yang berbau anak sekolah sebagai koleksi pribadi. Saya justru menulis kisah romance orang dewasa yang sudah kuliah dan bekerja. Mungkin sebenarnya itu tidak masalah, tapi saya merasa pikiran saya sudah jauh lebih dewasa dari usia saya sendiri.

Dan ketika saya tumbuh, saya selalu tidak percaya diri setiap ada pria yang mengajak berkenalan. Mungkin rasa trauma di masa kecil yang membuat saya takut. Berbagai macam pikiran berkecamuk, bagaimana jika dia tahu dulu saya korban pelecehan seksual? Atau semacamnya.

Atau bagaimana jika mereka juga sama, hanya ingin memanfaatkan saya saja?

Sungguh hal itu membuat hidup saya tidak tenang, hingga akhirnya saya membuat diri saya terlihat tomboy. Karena saya pikir dengan begitu, saya akan terlihat lebih kuat, dengan penampilan seperti itu tidak akan ada yang berpikir untuk berbuat macam-macam.

Pernah dulu, ketika saya bekerja mengasuh anak berusia 1 tahun. Keluarga itu memang baik, memperlakukan saya seperti keluarga, saya juga sangat dekat dengan anak-anak, mereka sudah saya anggap seperti adik sendiri. Lama-kelamaan saya merasa aneh, karena si bapak adalah seorang supervisor, dia sering berangkat agak siang. Setiap istrinya sudah berangkat duluan, sepertinya dia sengaja berlama-lama di rumah untuk memperhatikan saya bekerja.

Pertama kali saya menangkap gerak-geriknya ketika suatu malam saya sedang asyik tidur telentang menghadap pintu, sambil mendengarkan radio. Saya memang tipe yang tidak bisa cepat tidur, biasanya suka tidur larut malam, bahkan terkadang jam 1-2 baru tidur. Saat itu saya lagi asyik bernyanyi pelan sambil tiduran, mata tepat menghadap pintu. Tiba-tiba saya melihat si bapak mengintip dari ventilasi di atas pintu. Sejenak saya tersentak, tapi saya pura-pura tidak tahu agar dia tidak curiga. Saya jadi berpikir, jangan-jangan selama ini dia sering mengintip ketika saya tidur?

Sejak saat itu saya mulai berhati-hati. Pernah juga ketika saya sehabis mandi, saya sedang menyisir rambut saya di depan kaca. Nah si bapak tiba-tiba muncul bawa anak yang paling kecil, pintu kamar terbuka. Dia ngasih anaknya, tapi matanya jelalatan. Lalu dia bilang, “rambut kamu bagus ya mbak Ei,” katanya sambil mengelus rambutku menekan. Sebenarnya dia bukan mau nyentuh rambut, tapi tubuh saya. Segera saja saya meloncat lalu mengambil anaknya dan ke luar rumah. Biasanya kalau sore saya memang suka membawa anak-anak main di lapangan.

Sejak itu saya jadi selalu merasa takut, saya takut jika hanya ada saya dan si bapak saja di rumah bisa terjadi apa? Itu sebabnya jika hanya kami bertiga bersama anak yang paling kecil, saya lebih memilih untuk mengajak anaknya main di luar rumah. Kadang di rumah teman, atau tetangga. Hingga suatu hari saya memutuskan untuk mengundurkan diri saja. Si ibu sih sebenarnya nggak setuju karena anak-anaknya sudah sangat dekat dengan saya, tapi saya ngotot mau keluar. Saya tidak menceritakan alasan sesungguhnya, saya hanya bilang mau mencari pengalaman kerja yang lain.

Sejak itu saya mulai berhati-hati ketika mencari pekerjaan, saya lebih memilih mencari bos yang galak tapi tidak jelalatan.

Tapi semakin saya dewasa dan semakin banyak hal yang saya temui, saya pelajari, saya mulai memendam rasa takut seperti itu. Saya mulai bangkit menjadi lebih berani, mulai tidak mempermasalahkan masa lalu saya, meski tetap saja itu menjadi momok yang akan selalu menghantui.

Saya mencoba untuk mengubur hal itu dalam-dalam, meski saya sendiri sadar hal itu tetap tidak akan pernah terlupa. Tapi hal itu saya anggap sebagai pelajaran. Agar saya bisa menjaga anak-anak saya untuk tidak mengalami apa yang saya alami di waktu kecil.

Apa yang terjadi dengan saya juga membuat saya sangat mengecam jika ada kabar pelecehan seksual terjadi pada anak-anak di bawah umur. Pelaku seharusnya diberi hukuman yang lebih berat dari hanya sekedar 15 tahun penjara.


Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends