Hukum Adzan dalam Islam
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateFri Aug 24 2018
Mengobrol dengan seorang kawan, yang lebih paham mengenai hukum adzan, dr. Heri Munajib, seorang dokter di kalangan NU Jawa Timur, yang juga jebolan pesantren ini berkata, “Hukum adzan itu Fardhu Kifayah, artinya, jika orang lain sudah mengerjakan, maka terlepaslah hukum bagi yang lainnya.”
Ia menyambung, “Sebaiknya, jika di suatu kampung ada 3 masjid yang berdekatan, cukup satu yang mengumandangkan adzan, tidak semuanya. Itu juga yang membuat suara adzan lebih khidmat didengar.”
“Toa dan adzan itu hal yang berbeda, hukum toa itu tidak wajib, bukan pula sunah, hukumnya hanya boleh saja. Kalau mau bodoh-bodohan, toa masjid itu juga sebenarnya buatan kafir. Jaman Nabi, adzan kagak pake toa, ngga ada kewajiban pake toa.”
“Banyak orang beragama yang lebih mementingkan hiruk pikuknya, daripada konteks hukumnya. Sekali lagi, ini masalah toa. Mari, jangan tampilkan wajah agama yang selalu menang sendiri.”
Ternyata, di beberapa masjid sendiri, sudah lama ada gerakan seperti ini, yaitu mengurangi kebisingan suara, akibat volume toa yang disetel terlalu kencang. Beberapa masjid dari jamaah salafy dan Muhamadiyah, justru sudah lama mengimplementasikan hal tersebut.
Hal ini pulalah, yang menyebabkan Ketua Dewan Masjid, yaitu Jusuf Kalla, di tahun 2015, mengeluarkan peraturan, agar masjid-masjid di negeri ini, mulai mengecilkan volume pengeras suaranya, alias toa, agar tak menambah beban polusi suara.
Jadi sebenarnya, vonis yang diterima oleh ibu Meiliana di Tanjung Balai tersebut, terhitung tak perlu. Bukan hanya karena perkara pasal karet, dan bukti-bukti yang ada tak kuat, tapi juga disisi lain, kita harus mengedepankan keadilan. Kita bicara tentang negara hukum, denngan aturan Rule Of Law, bukan Rule By Law, seperti yang ibu Meiliana alami.
Ia, sama halnya dengan cerita Arswendo, Ahok, serta Otto Rajasa, yang dihukum dengan pola kasus yang sama, pun terhukum lebih karena tekanan massa, bukan karena kesalahan yang ia lakukan.
Lucunya, kita terbiasa memaafkan kasus-kasus besar seperti korupsi, yang nyata-nyata merugikan negara, namun hukum kita tutup mata, terhadap keadilan seorang ibu Meiliana. Coba bandingkan dengan vonis yang diterima oleh Wawan, alias Tubagus Chaeri Wardana, yang jelas-jelas terdakwa korupsi miliaran rupiah, ia hanya divonis 18 bulan penjara, sementara ibu Meiliana, yang hanya ’rasan-rasan’ dengan tetangga, divonis dengan masa hukuman yang sama, dengan orang yang jelas-jelas merugikan negara miliaran rupiah.
Ini, adalah preseden buruk, bagi hukum di negara ini. Catatan merah, akan betapa bobrok serta sakitnya sistem hukum kita. Saat kata hukum, masih saja runcing kebawah, serta tajam keatas.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)