Ika Natassa Diserang Netizen dengan Body Shaming
- Post AuthorBy Hanajime Gandis
- Post DateThu Aug 23 2018
Ika Natassa seorang novelis perempuan, belum lama ini mendapatkan cemoohan dari netizen dengan mengejeknya secara fisik (body shaming).
Pembaca tersebut dari awal sebenarnya tidak puas dengan tulisan novelis perempuan ini. Kemudian, ketika tahu tampilan fisiknya, seakan-akan dijadikan alasan kuat untuk menyerang (aneh lagi, richtig maksudnya?).
Lahir di Medan, 25 Desember, Ika Natassa mempunyai banyak prestasi, mulai dari bidang kepenulisannya sendiri, pekerjaan utama sebagai banker, 10 besar fun fearless female dari Majalah Cosmopolitan, sampai berhubungan dengan akademik.
Perempuan murah senyum dan stylish ini pun mempunyai hobi lain yaitu menggambar dan fotografi. Selain itu, merupakan CEO LitBox, sebuah aplikasi literasi yang membantu penulis dan penerbit agar hasil karyanya lebih dikenal luas. Kendati disibukkan dengan berbagai aktivitas, Ika Natassa tetap produktif menelurkan 10 buku, yaitu: A Very Yuppy Wedding, Divortiare, Underground, Antologi Rasa, Twivortiare, Twivortiare 2, Critical Eleven, Autumn Once More (antologi), Cerita Cinta Indonesia (antologi), dan The Architecture of Love.
Karyanya yang menarik dibuktikan dengan ketertarikan produser untuk memfilmkannya. Selain Critical Eleven, A Very Yuppy Wedding, Antologi Rasa, Twivortiare, dan The Architecture of Love pun akan diekranisasi -mengalihkan karya seni dari satu wahana ke wahana lain seperti adaptasi karya sastra/novel ke layar lebar/film.
Sempat mengenyam pendidikan di Iowa, USA, dan mendapat tawaran S2 dari tempatnya bekerja, Ika Natassa tetap menjadi pribadi yang humble dengan menjaga interaksi bersama pembaca melalui akun media sosialnya. Bahkan, novelis berkacamata ini membuat akun karakter novelnya di Twitter.
Ketika kita menyukai karya seorang penulis, pastilah ada keinginan dalam pikiran untuk mengetahui tampilan fisiknya. Kita ingin tahu “jatuh cinta” pada seseorang yang bagaimana. Memang pekerjaan ini tidak menuntut penampilan, lantas kenapa harus kecewa kalau di luar ekspektasi?
Tentu tidak ada kaitan antara fisik dan tulisan, karena penulis menjual cerita, bukan rupa. Jadi, kenapa harus dipermasalahkan? Rasanya seperti mendiskriminasi. Kasarnya sih, “Lo jelek, nggak usah menulis romance. Nggak cocok.”
Kalau toh seorang penulis itu cantik, pastilah dia ingin lebih dilihat dari karya, bukan muka. Ilana Tan, novelis perempuan yang bukunya mega bestseller saja tidak pernah menampakkan diri. Dia hanya ingin fokus berkarya tanpa mementingkan faktor X.
Memang tidak ada manusia yang sempurna. Namun, akan terasa aneh jika seseorang fans menuntut idolanya memiliki gambaran fisik sesuai imajinasi setelah menikmati karyanya. Mengubah subjek dari perkataan Gus Dur, berarti dia menuhankan rupa, bukan cerita. Mengingat penulis bergerak di belakang layar, maka hal tersebut tentu saja bodoh.
Kenapa juga harus seperti itu? Benar-benar tidak ada korelasi di sini. Tolok ukur kecantikan memang sering dikaitkan dengan rupa, sehingga mata tertutup untuk melihat hal-hal hebat lain.
Atau, yang sering terjadi di masyarakat adalah pemikiran bahwa seseorang harus punya nama sesuai dengan rupa biar tidak keberatan nama. Padahal, sah-sah saja orangtua dalam memberikan nama, karena mengandung doa dan harapan.
Di IG story Ika Natassa pernah dibahas bahwa Ika berarti anak pertama dan Natassa adalah anak perempuan yang lahir di malam natal. Tidak ada salahnya, bukan? Memang keadaan penulis bestseller ini pantas mendapatkan nama seperti itu. Jadi, kenapa harus diperolok? Bisa dikatakan, nama adalah takdir, lalu kenapa manusia mempermasalahkannya?
Kalau mata mau puas oleh rupa, lihatlah publik figur yang memang menonjolkan hal tersebut. Penulis mengajakmu menikmati cerita dan larut dalam imajinasi. Tidak ada korelasi antara tampilan fisik dan kualitas tulisan. Kalau membandingkannya sama saja cari-cari kesalahan palsu. Memberikan review buruk bukan murni dari isi buku berarti memang bukan seleranya, jadi lebih baik tidak perlu arogan seperti itu. Lucunya, meski ingin menunjukkan “kehebatan” dirinya, justru mennyembunyikan identitas.
Hargailah semua manusia atas usaha, hasil kerjanya, bukan fisik. Fisik tidak ada sumbangsihnya untuk orang lain. Dan lagi, hidup cuma sekali. Daripada mengkritik orang lain tanpa dasar jelas, lebih baik menciptakan sesuatu agar hidup lebih berguna.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)