Ini Perempuan Papua Pertama yang Menjabat Wakil Kepala Perwakilan KBRI India
- Post AuthorBy Nalikoy Sarwom
- Post DateWed Mar 21 2018
Fientje Maritje Suebu menjadi perempuan Papua pertama yang mencapai jabatan orang kedua di KBRI India.
Kesuksesan bagi sebagian besar orang terkait dengan jumlah properti yang dimiliki atau banyaknya throphy yang diperoleh. Tapi, bagi seorang diplomat asal Papua yang telah bertugas 31 tahun di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, definisi kesuksesannya adalah, “Prestasi yang menghasilkan kebahagiaan. Kami berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam hidup ini dan merasa senang karenanya, baik di tempat kerja, di rumah, membesarkan keluarga dan memelihara hubungan, mendidik anak-anak, atau apapun yang mengarah pada kepuasan adalah kesuksesan.”
Sederhana namun bermakna.
Di dalam kantor yang klasik, duduk di depan meja eksekutif cokelat gelap adalah Fientje Maritje Suebu, Wakil Kepala Perwakilan di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk India, diangkat menjadi Wakil Kepala Perwakilan di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di New Delhi sejak Februari 2018. Berpakaian elegan dengan blazer hitam, tata rambut yang sengaja ia tampilkan apa adanya untuk menyiratkan ia adalah seorang Mama-mama Papua.
Diplomat perempuan Papua pertama yang bekerja sebagai Wakil Kepala Perwakilan untuk negaranya adalah suatu kehormatan dan prestasi yang manis. “Bangga dipercayakan dengan posisi ini dan ini merupakan kehormatan bagi saya dan keluarga untuk bisa melayani bangsa,” kata Fientje saat dihubungi melalui telepon.
Ketika ditanya mengapa dia memilih menjadi diplomat, dengan jujur ia menjawab bahwa pada awalnya ia tidak menyangka akan menjadi diplomat, yang ia inginkan setelah direkrut oleh kementerian (Departemen Luar Negeri) pindah ke Jakarta dan bekerja. Tetapi dengan pelatihan dasar yang diterima di Sekolah Dinas Luar Negeri, keinginan untuk menjadi seorang diplomat berkembang dan ia ingin menjadi bagian dalam mempromosikan dan bekerja untuk kepentingan bangsa kepada negara-negara sahabat.
Hidup tidak selalu mudah bahkan bagi anak perempuan satu-satunya di antara lima putra seorang Kepala Suku. Terutama sebagai wanita yang mengejar karier sebagai diplomat dan ibu. Tugas mengharuskannya untuk melakukan perjalanan ke negara lain setiap tiga sampai empat tahun, berakrobat antara tugasnya sebagai wanita karier dan ibu. Di antara banyak tantangan, salah satunya adalah beradaptasi dengan berbagai sistem pendidikan di negara lain, tidak hanya di mancanegara bahkan di Indonesia, keluarganya berjuang untuk mengimbangi kesenjangan.
“Kami harus mengelola bermacam perbedaan budaya yang sangat besar, baik di sekolah dengan perbedaan mata pelajaran dan pekerjaan rumahnya,” ujarnya. “Pada satu titik waktu keluarga diminta untuk pindah selama ujian sekolah, sebagai akibatnya anak-anak harus diturunkan kelasnya,” kisahnya.
Dengan banyaknya rintangan, Ice, begitu kerabatnya biasa memanggilnya, menundukkan semuanya dengan dukungan setia dari suaminya Pendeta Philipus Sarwom, yang bertahan tinggal di Jakarta, membimbing ketiga anak mereka untuk menyelesaikan pendidikan tinggi, namun yang terpenting mendapatkan rasa hormat dan cinta dari keluarga mereka.
Ada kecenderungan dari sebagian masyarakat untuk meremehkan seseorang yang berasal dari Papua, dan seringkali ada stereotip negatif dari sebagian orang terhadap mereka yang berasal dari wilayah paling timur Indonesia. Inilah yang Fientje coba tunjukkan, setiap hari, bahwa orang Papua mampu berdaya sebagaimana orang lainnya.
Fientje percaya bahwa perempuan Indonesia dan khususnya perempuan Papua dapat menjadi agen perubahan di bidangnya masing-masing tidak hanya menduduki posisi eksekutif, legislatif atau yudikatif yang penting namun mampu bersaing dalam era globalisasi ini.
***
Editor: Erri Subakti
*Artikel asli ditulis dalam Bahasa Inggris:
First Papuan Woman Diplomat as Deputy Chief of Mission
Success is mostly related to the amount of property owned by a person or the numerous trophies acquired. But, for a Papuan Diplomat who have served 31 years within the Ministry of External Affairs of the Republic of Indonesia, the definition of success to her is “an achievement that results in happiness. We strive to do the best in this life and feel happy about it, either at work, at home, raising a family and maintaining relationships, educating the children, or anything that leads to being satisfied is success.”
Simple yet meaningful.
Inside a quaint office, seated in front of a rich dark brown executive desk is Fientje Maritje Suebu, Deputy Chief of Mission at the Embassy of the Republic of Indonesia for India, appointed to the office in New Delhi since February 2018. Dressed elegantly in a black blazer, not a hair out of place, she portrays the epitome of a Papuan Mama-Mama (meaning Woman/Lady/Mother).
The first Papuan Woman diplomat to serve as a Deputy Chief of Mission for her country was an honor and a sweet achievement. “Proud to be entrusted with this position and it is an honor for me and family to be able to serve the nation” says Fientje when contacted by phone. When asked why she choose to be a diplomat, she honestly replies that at the beginning she have no idea about being a diplomat, all she wanted after being recruited by the ministry (then Department of Foreign Affairs) was to move to Jakarta and work. But with the basic training received at the Ministry’s training centre (Sekolah Dinas Luar Negeri) the will to be a diplomat grew and she wanted to be a part in promoting and working for the nation’s interest to friendly countries.
Life was not always easy even for the only daughter among five sons of a Tribal Chief. Especially as a woman pursuing a career as a diplomat and a mother. Duty requires her to travel to another country every three to four years, juggling between her duty as a career woman and mother. Among the many challenges, one of it was to adapt to the various education systems in other countries, not only abroad even in Indonesia, her family struggles to keep pace with the gap. “We have to manage with the vast differences of cultures and in school with subjects and the amount of home works”. At one point of time the family was required to move during the school exams, as a result the children had to be demoted or was forced to stay behind. Through the many obstacles, Ice the name her relatives used to call her, braved it all with the loyal support and company of her husband Rev. Philipus Sarwom, survived Jakarta, raised their three children to finish higher education, but most importantly earned the respect and love of their family.
There is a tendency to underestimate someone hailing from Papua, and it is common to hear negative stereotypes associated with people from the most eastern part of Indonesia. This is what Fientje tries to show, everyday, that Papuans are able to be as empowering as the next person.
Fientje believes that Indonesian women and specially Papuan women can be agents of change in their respective fields not only occupying important executive, legislative or judicial positions but are able to compete within this era of globalization.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)