Ivana Lie: Bulutangkis Entaskan Kemiskinan
- Post AuthorBy Peran Perempuan
- Post DateWed Sep 11 2019
Ivana Lie merupakan salah satu atlet perempuan Indonesia yang berprestasi di era ’80-an. Ia sempat menjadi salah satu anggota tim Audisi PB (Perkumpulan Bulutangkis) Djarum.
Sosok Ivana Lie merupakan salah satu contoh bagaimana bulutangkis bisa mengubah nasib seseorang yang hidup dari kemiskinan hingga bisa meraih kesuksesan dan membantu keluarganya.
“Dulu, anak-anak kecil, dimana-mana main bulutangkis. Jadi saya juga ikut bermain tanpa pelatihan. Malah mainnya menggunakan papan, piring atau sendal karena gak punya raket sendiri. Kalau pun mau pakai raket satu-satunya di keluarga, ketika sedang tidak digunakan kakak-kakaknya,” kenang Ivana Lie.
Ivana Lie adalah anak ke-delapan dari sembilan bersaudara pasangan Lie Tjung Sin dan Kiun Yun Moi. Legenda bulutangkis putri Indonesia kelahiran Bandung, 7 Maret 1960 ini, awalnya bermain bulutangkis mengikuti kakak-kakaknya.
Ivana Lie berasal dari keluarga yang miskin. Ia sering makan hanya dengan nasi tanpa sayur, atau “mutih”. Bahkan untuk iuran sekolah saja, ia sering menunggak.
Suatu hari, ketika kelas 6 SD, ia dipilih sebagai wakil sekolahnya ikut Porseni (Pekan Olahraga dan Seni) cabang olahraga bulutangkis. Ia pun berlatih lebih serius menghadapi Porseni walaupun tanpa ada yang melatih. Hasilnya ia mampu menjadi juara.
Atas prestasinya, pihak sekolah memberikan hadiah berupa keringanan iuran sekolah. Ia disamakan dengan anak-anak guru yang bayarannya lebih ringan.
“Hadiah itu menimbulkan motivasi kepada saya. Ternyata, kalau juara bisa membantu orang tua,” ujar Ivana Lie.
Sejak itu, ia bertekad untuk menjadi pemain bulutangkis. Ia kemudian menabung setiap kali punya uang, sampai mambu beli raket sendiri.
Saat usia 13 tahun, klub Mutiara Bandung, membuka tempat berlatih bulutangkis di dekat rumahnya. Ia ikut latihan di klub tersebut. Tetapi karena harus membayar, ia bisa ikut latihan kalau punya uang saja. Bila sedang tidak punya uang, ia istirahat latihan.
Pihak klub memperhatikan dirinya yang selalu bersemangat saat latihan. Ketika pihak klub mengetahui bahwa ia sering tidak latihan karena tidak ada biaya, maka kemudian ia mendapat bantuan dari klub.
“Bulutangkis jalan keluar dari kemiskinan. Motivasi itu membuat saya selalu resah, untuk selalu harus lebih baik lagi. Saya selalu menambah porsi latihan, saya selalu merasa kurang. Saya melakukan latihan yang sangat berat. Bahkan ketika mau tidur, pikiran terhadap bulutangkis jalan terus,” tutur Ivana Lie
Setelah rutin latihan di klub selama 3 tahun, ia dipanggil ke Pelatnas lewat ajang pencarian bakat. Ia bergabung di Pelatnas saat usia 16 tahun atau sekitar akhir tahun 1976. Berbagai prestasi internasional telah diraihnya. Tahun 1979, ia berhasil menjadi juara tunggal putri Denmark Open dan meraih medali emas SEA Games. Ajang Kejuaraan dunia 1980 di Jakarta, merupakan salah satu kenangan paling berkesan, meskipun ia tampil sebagai runner up.
“Tampil di Istora, di depan publik sendiri merupakan sesuatu yang berbeda. Aura dukungan penonton terasa banget. Apalagi disaksikan oleh sekitar 10 ribu penonton,” tambah Ivana Lie.
Ivana Lie merasakan hal yang sama setiap kali bertanding di ajang Indonesia Open. Ia adalah pemain dengan gelar paling lengkap di Indonesia Open, karena mampu juara di tiga sektor. Tahun 1983, ia menjadi juara tunggal putri dan ganda campuran bersama Christian Hadinata. Gelar juara ganda campuran dipertahankan tahun berikutnya dengan pasangan yang sama. Ia melengkapinya dengan gelar ganda putri bersama Verawaty Fajrin (1986) dan Rosiana Tendian (1987).
Kenangan lain yang paling manis untuk diingat, ketika menjadi juara ganda putri China Open tahun 1986. Kala itu, ia bersama Verawaty Fajrin mampu mengalahkan beberapa pasangan kuat tuan rumah. Kenangan lain yang berkesan ketika merebut medali emas Asian Games tahun 1982 bersama Christian Hadinata. Ia mengungkapkan bahwa ia tidak pernah latihan bareng bersama Christian setiap kali turun ke suatu kejuaraan.
“Walaupun tidak pernah latihan bareng tetapi bisa kompak. Saya ini pengagum Christian, jadi saya menikmati sekali cara dia main. Ketika jadi pasangan, saya sudah tahu harus seperti apa. Jadi ada chemistry tersendiri,” ungkap Ivana Lie.
Di luar arena bulutangkis, ia sempat mempunyai masalah tersendiri. Orang tuanya merupakan imigran dari China, sehingga ia tidak memiliki kewarganegaraan. Bertahun-tahun ke luar negeri tanpa pasport walaupun mewakili Indonesia. Ia diakui sebagai warga negara Indonesia pada akhir tahun 1982. Itu pun karena ia berbicara langsung dengan Presiden Indonesia saat itu, Soeharto.
Kini, Ivana Lie sudah menikmati buah perjuangannya dari bulutangkis. Namun ia tetap mendedikasikan waktunya untuk cabang olahraga yang dicintainya. Salah satunya dengan menjadi anggota tim pemandu bakat Audisi Umum PB Djarum tahun 2016 silam.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)