Skip to main content
Categories
BeritaHukumSosial

Jangan Hakimi Korban Pelecehan Seksual Melalui Pesan Virtual

YouTuber Gita Savitri dan Pedangdut Via Vallen menjadi korban pelecehan seksual di media sosial dalam waktu hampir bersamaan. Keduanya mengungkap kejadian yang dialaminya dengan mengunggah foto tangkapan layar melalui fitur Story di Instagram. Dan hasilnya keduanya sama-sama menuai pro kontra netizen. Banyak yang membela, tapi tidak sedikit pula warga net yang malah menyerangnya balik terkait cara mereka membuka cerita ke publik. Bahkan ada netizen yang memanfaatkan kesempatan untuk mengorek aib masa lalu Gita dan grammar bahasa Inggris Via. Sungguh maha benar netizen Indonesia dengan segala ke-‘geje’-annya!

Saya bukan follower atau hater Gita dan Via, tapi sebagai sesama perempuan saya merasa miris ketika turut menyimak pemberitaan terkait keduanya di media daring pun obrolan yang melintas di lini masa. Bagaimana kita akan bisa memutus mata rantai pelecehan seksual jika para korban pelecehan seksual selalu ramai-ramai dibungkam dan dihakimi tanpa sedikit pun empati.

Empati merupakan ketrampilan untuk memahami perspektif, kondisi, dan perasaan orang lain, dengan memposisikan diri seolah-olah kita adalah orang tersebut. Dalam bermacam kasus, kurang atau tidak adanya empati merupakan awal dari timbulnya beragam perilaku destruktif yang bisa merugikan korban. Kasus pelecehan seksual yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi tindak kekerasan seksual tidak perlu terjadi atau akan bisa dikurangi manakala masyarakat (tidak terkecuali pengguna internet) dapat berempati terhadap kondisi korban.

Cyber harassment atau pelecehan seksual di dunia maya tercatat sebagai kasus terbanyak kedua dari berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Perlu diperhatikan, ‘hitungan terbanyak kedua’ di sini adalah hanya ‘untuk yang dilaporkan’, sementara di luar sana masih banyak korban yang jangankan melaporkan apa yang dialaminya, sekadar bercerita kepada orang di sekitarnya pun tidak berani.

Para korban tidak berani bercerita dan berusaha menyembunyikan derita yang menimpanya selain karena malu, mereka juga takut menjadi korban bullying. Para korban itu ibaratnya orang sudah jatuh takut bersuara karena nggak ingin ditimpuk batu atau ditimpa tangga oleh orang yang mendengar atau mengetahui masalahnya. Contohnya seperti kasus yang dialami Gita Savitri dan Via Vallen, sebagai korban yang berani bercerita mereka malah diserang balik netizen dengan tuduhan mencari perhatian dan tidak tahu aturan karena sudah membagikan pesan pribadi ke publik.

Saya sedih dan merasa miris ketika membaca komentar-komentar jahat itu. Lebih sedih lagi karena serangan penghakiman itu justru banyak dilontarkan oleh sesama perempuan. Sikap tidak berempati ramai-ramai mereka tunjukkan dengan nada sinisme dan candaan serta menjadikan kasus yang dialami kedua publik figur tersebut sebagai bahan cibiran. Tapi sebisa mungkin saya tidak ingin menghakimi balik para perempuan yang terlihat miskin empati itu, karena bisa jadi mereka memang belum tahu bahwa mengirimkan pesan mesum termasuk tindak kejahatan, merupakan pelecehan seksual dan bentuk pelanggaran kesusilaan yang bisa digolongkan sebagai perbuatan cabul.

Menurut artikel hukum yang pernah saya baca, unsur penting dari pelecehan seksual atau perbuatan cabul melalui pesan tertulis seperti yang dialami Gita dan Via adalah adanya ketidakinginan atau penolakan mereka pada pesan yang mereka terima. Dan sebenarnya pesan pribadi yang berkonten mesum memang bisa dikategorikan sebagai informasi elektronik yang jika diproses secara hukum bisa dijerat dengan UU ITE Pasal 27 ayat 1. Pelaku yang terbukti bersalah bisa dijatuhi pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah. Namun, sepertinya Gita dan Via tidak melakukan pelaporan ke Direktorat Cyber Crime Polri dan memilih mengungkap apa yang mereka alami di media sosial yang mereka miliki.

Apa yang dilakukan oleh Gita Savitri dan Via Vallen tentu saja sudah benar. Hal ini sesuai dengan himbauan Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati yang dikutip BBC Indonesia. Sri meminta agar para perempuan yang mengalami kasus pelecehan seksual agar tidak diam dan berusaha menegaskan ketidaksukaannya atas pelecehan yang diterimanya.

Banyak netizen yang menyebut Gita dan Via lebay. Sebab menurut pendapat netizen, bukan hanya mereka berdua yang menjadi korban pelecehan seksual melalui media sosial, tapi korban yang lain cukup memilih diam, menghapus pesan atau memblockir akun pengirim pesan mesum. Tidak perlu memperpanjang urusan dengan membuka dan mengungkapkan apa yang dialaminya ke publik. Apakah pendapat netizen benar? Apakah benar masalah bisa dengan mudah selesai begitu saja?

Netizen lupa bahwa internet memberi kesempatan penggunanya untuk tampil dan berinteraksi dengan identitas tersembunyi atau menggunakan identitas palsu tanpa harus bertemu muka sehingga bisa lebih mudah untuk kabur setelah melakukan pembuatan yang tidak menyenangkan. Kesempatan itulah yang dimanfaatkan oleh para pengirim pesan mesum untuk mencari korbannya. Lantas, jika setiap korban memilih diam, merasa cukup dengan melakukan pemblokiran akun atau menghapus pesan mesum, maka pelaku dengan mudah bisa melanjutkan aksinya dan mendapatkan korban lainnya lagi dan lagi.

Hal ini akan berbeda jika para korban bisa melakukan capture dan menyebarluaskan pesan mesum yang diterimanya sebagai ekspresi ketidaknyamanannya dan publik menyambutnya dengan memberikan empati dan dukungan. Maka secara otomatis, meski pelaku pelecehan seksual melalui dunia maya tidak ditindak secara hukum di dunia nyata, pelaku atau pemilik akun penyebar pesan mesum tersebut bisa mendapatkan konsekuensi berupa sanksi sosial karena perbuatannya. Apalagi jika capture tersebut sampai viral, pelaku akan berpikir ulang sebelum melakukan pembuatan tidak senonoh lagi.

Ketika angka pelecehan seksual terus menjulang tinggi, beberapa persoalan yang menjadi sumbatan dalam penyelesaian mekanisme perlindungan dan penanganan kasus tersebut sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua. Mari kita hentikan legitimasi budaya patriarki dan pandangan bias gender yang menempatkan perempuan korban pelecehan seksual di posisi terlarang untuk bersuara. Berhenti menyalahkan korban pelecehan seksual dengan anggapan melanggar moralitas dan segala hal ‘geje’ (GJ=gak jelas) lainnya.

Mari bersama belajar berempati, dengan sedikit membayangkan andai kita yang berada di posisi para korban. Apakah kita mau berada di posisi terluka tapi masih diinjak dan dibungkam serta dibiarkan mati membusuk tanpa pertolongan?

Jangan pernah menganggap remeh pelecehan meski hanya berupa pesan virtual, akibatnya memang tidak terlihat di permukaan. Tapi luka psikologisnya bisa menimbulkan trauma bagi para korbannya. Empati tidak bisa menyelamatkan korban tapi setidaknya dukungan kita bisa membantu mereka untuk melewati masa sulit yang mesti dihadapinya.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends