Skip to main content
Categories
BudayaEditorialNusantara

Kamu Orang Mana? Aku Indonesia

Setiap kali kenal dengan orang baru, terutama ketika pergi ke daerah. Pertanyaan “orang mana?” itu kerap terlontar dari seseorang yang menanyakan dari manakah asal kita, atau apa suku kita.

Sejak dulu saya sebenarnya kurang ‘sreg’ dengan pertanyaan itu karena saya suka bingung harus menjawab apa. Sering saya menjawab, “saya lahir dan besar di Jakarta.” Atau saya jawab, “orang Jakarta”. Tapi mereka akan melanjutkan bertanya “orang Betawi?” Jakarta asli?

Nah, terus terang dengan tumbuh besar di Jakarta, budaya betawi, budaya kemayoran memang kental ada di dalam diri saya. Tapi apakah saya bilang saya asli betawi? Sedangkan penduduk Betawi asli pun awalnya berasal dari berbagai suku dan bangsa. Bahkan warna Tionghoa sangat kental dalam budaya betawi. Bahasa betawi pun banyak mengadaptasi dari bahasa Tionghoa, begitu juga dengan pakaian laki-laki betawi seperti baju koko.

Ayah saya dan beberapa generasi ke atas, memang tinggal di Bandung. Mungkin sudah 4 generasi di atas saya merupakan ‘orang Bandung.’ Budaya sunda ayah saya, sangat kental. Ayah saya pun merasa sebagai ‘urang sunda.’ Tapi ketika saya merunut lagi ke generasi di atasnya, ada leluhur saya yang berasal dari Tegal.

Di sini saya mulai berpikir, mengingat bahwa Tegal itu merupakan kota pelabuhan. Maka bukan tidak mungkin leluhur saya sebelum menetap di Tegal, merupakan warga ‘asing, atau pedagang yang mungkin juga berasal dari wilayah Gujarat? Atau Tidore? Mungkin saja.

Orang mana?

Saya suka bertemu orang yang secara fisik keturunan Tionghoa, tapi kata-kata dan kebiasaannya lebih Jawa dari orang Jawa. Saya kerap bertemu orang keturunan Tionghoa yang lebih Palembang dari wong Palembang, orang Tionghoa yang lebih dayak dari orang Dayak, bahkan yang lebih Papua dari orang Papua. Atau orang Tionghoa yang lebih Indonesia dari pada mereka yang mengaku orang ‘pribumi.’ Nah, bagaimana mendefinsikan “orang mana” pada mereka-mereka yang saya sebut ini? Apakah hanya karena fisik, lalu mereka tetap menyandang sebagai ‘orang China?’ Big NO, buat saya.

Sebaliknya, justru mereka yang secara fisik terlihat melayu, tapi ngotot dengan Budaya Arab (budaya asing) di Indonesia, itulah yang patut diragukan nasionalismenya. Patut kita ragukan ke-Indonesiaan-nya.

Sungguh aneh buat saya di era saat ini yang masih mempermasalahkan etnis atau agama seseorang, dan menyimpan bibit kebencian hanya karena perbedaan fisik, latar belakang budaya atau agama. Mungkin pola pikir mereka masih tertinggal beberapa abad lampau.

Kalau ada yang bilang, “saya muslim.” Itu hanya klaim saja menurut saya. Bagaimana bukti bahwa dia itu Islam? dari KTP? atau dari akhlak/perilaku dan perkataannya sehari-hari?

Bagaimana dengan seorang yang berpakaian layaknya muslim, tapi kerap berkata-kata penuh kebencian rasial dan kebencian atas perbedaan agama? Karena setau saya ajaran Islam tidak mengajarkan kebencian berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut. Lalu kita pun meragukan sebenarnya dia menganut ajaran apa.

Jadi, “orang mana” Anda bukan ditentukan oleh bentuk fisik dan genetika Anda, melainkan dari tindak perilaku dan perkataan-perkataan Anda. Karena Nasionalisme bukan soal fisik, asal daerah, perbedaan budaya dan agama, melainkan soal di mana hati kita ditempatkan.
(Erri Subakti)

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends