Kebaya Encim, Melestarikan Budaya Indonesia Meski Tionghoa
- Post AuthorBy Autami
- Post DateFri Feb 16 2018
Pada Abad ke-15, penggunaan kebaya bukanlah untuk menghadiri pesta atau acara penting seperti sekarang, melainkan untuk pakaian sehari-hari. Perempuan-perempuan pribumi, khususnya di daerah Jawa, hilir-mudik melakukan pekerjaan sehari-hari dengan membawa tubuh berbalut kebaya putih dan kain batik dipadukan rambut berkonde.
Bertepatan dengan masa itu, para imigran Tionghoa masuk ke Indonesia dan mengawini perempuan-perempuan pribumi. Namun, meskipun sudah menjadi ‘Nyai’ (sebutan untuk perempuan yang menikah dengan laki-laki Tionghoa) perempuan-perempuan pribumi tetap mengenakan kebaya sebagai busana sehari-hari. Bedanya, kebaya yang dikenakan para nyai ini memiliki bahan yang lebih halus dan harganya pun mahal. Seiring masuknya Portugis dan Malaka, kebaya para nyai ini kemudian memiliki motif yang sekarang disebut kebaya encim.
Sebelum adanya kebaya yang dikenakan para nyai, ada pun kebaya peranakan yang merupakan hasil dari peranakan Indo-Belanda. Terdapat perbedaan antara kebaya peranakan dan kebaya encim. Yaitu, kebaya peranakan Belanda berwarna putih dan memiliki renda sementara kebaya encim berwarna-warni.
Kebaya encim pun kerap disamakan dengan kebaya betawi. Namun, sebenarnya keduanya sangatlah berbeda. Kebaya betawi memiliki ciri khas berwarna putih layaknya kebaya kartini, sementara kebaya encim tidak memakai warna putih sebab dalam kepercayaan Tionghoa warna putih melambangkan suasana duka-cita. Untuk pesta, perempuan-perempuan Tionghoa sendiri bahkan mengenakan warna seperti fuschia dan hijau turqouise dan bukannya merah.
Namun, meski mengubah warna asli kebaya, para nyai pada zamannya menerapkan pada anak-anak perempuan mereka untuk tetap melestarikan kebaya encim. Itulah mengapa sampai sekarang pada setiap perayaan imlek, perempuan-perempuan Tionghoa baik peranakan ataupun totok tetap cinta menggunakan kebaya encim.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)