Kebebasan Memeluk Agama, yang Tak Pernah Bebas untuk Perempuan
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateWed Nov 08 2017
Pada akhirnya MK (Mahkamah Konstitusi) mengeluarkan sebuah keputusan yang amat sangat penting bagi para pemeluk agama serta aliran kepercayaan asli negeri ini. Agama-agama kuno, diperbolehkan dianut secara legal, dilindungi oleh hukum, dan berhak dicantumkan di kartu tanda penduduk, tidak lagi terbatas hanya 6 agama saja yang diakui.
Pada dasarnya, hak beragama, memang sebaiknya tidak diatur oleh negara. Karena itu merupakan hak yang paling personal yang berkaitan dengan hati seseorang. Tapi, mengingat sejarah bangsa ini, yang memang lekat dengan politik agama, maka tidak kaget saat agama pun diatur oleh negara. Padahal, peran negara seharusnya, ada di masalah hukum saja. Mengatur tentang ketertiban pelaksanaan segala kegiatan yang berkaitan dengan agama, agar tidak tumpang tindih, saling ingin menang sendiri serta ribut satu dengan yang lainnya.
Dan dalam hal beragama, seringkali menemukan sebuah aturan tak tertulis yang ada di masyarakat kita. Bahwa seorang perempuan, sudah sewajibnya, mengikuti agama calon suaminya, agar rumah tangga yang kelak akan dibina, bisa selaras sejalan, karena memiliki dasar keyakinan yang sama. Sesuatu yang sebenarnya amat sangat dipaksakan, walau pada kenyataannya, banyak sekali yang terjebak dalam stigma tersebut. Bahwa dengan keyakinan yang sama, maka rumah tangga yang dibangun, akan diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa, maka niscaya kehidupan rumah tangganya kelak akan bahagia selamanya.
Benarkah? Entahlah, menurut saya pribadi, tidak benar sama sekali. Kenapa?
Karena pada kenyataannya, penyebab perceraian terbesar di negara ini, bukan karena perbedaan agama serta keyakinan, tapi karena faktor ekonomi serta perselingkuhan. Lalu, apa kabarnya dengan dalil bahwa dengan landasan iman yang sama bisa membawa sebuah pernikahan kepada sebuah kebahagiaan selama-lamanya? Toh mereka-mereka yang bercerai, bukan memiliki keyakinan yang berbeda, bukan pula orang-orang yang tidak mengerti tentang agama. Karena bukankah pada dasarnya, pondasi utama sebuah pernikahan adalah tanggung jawab terhadap komitmen yang dibuat? Dan pada kenyataannya, justru orang-orang dulu, lebih langgeng pernikahannya, tanpa embel-embel apapun kecuali rasa kasih yang terus dijaga sepanjang hayat.
Pada dasarnya, seringkali, agama hanya menjadi iming-iming sebuah tempat bernama surga bagi para istri, para perempuan. Bahwa dengan menjadi seorang istri yang patuh kepada suami, maka ia pasti akan masuk surga, bahwa seorang istri, harus turut kepada sang imam, sang nahkoda rumah tangga, yaitu suami, agar bisa masuk surga. Lalu, apa jadinya, jika pada akhirnya di tengah jalan, si istri ini menemukan kepercayaan baru, menemukan agama yang lebih sreg dengan hatinya, lebih membuatnya nyaman, tapi berbeda dengan agama atau kepercayaan yang dianut suaminya. Sementara ia tetap mengabdi pada pernikahannya, memperlakukan serta menyayangi keluarganya tanpa mengurangi kadar kasih sayang, apa ia akan masuk neraka?
Kebebasan beragama, menganut kepercayaan apapun, seharusnya, menjadi hak yang paling hakiki pada diri seorang manusia. Tak terbatas ia adalah seorang laki-laki maupun perempuan, tak terikat batas serta aturan, karena toh katanya, di dalam agama apapun, kedudukan manusia adalah sama di hadapan Tuhan. Lalu, mengapa masih banyak sekali aturan bahwa seorang perempuan, yang berperan sebagai istri, harus selalu menjadi kanca wingking, menuruti serta mengikuti semua kata suami dalam hal beragama?
- Post Tags##pernikahan#agama#beda#rumahtangga
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)