Kenapa Sesama Perempuan Melewati Batasan Sensitif?
- Post AuthorBy Hanajime Gandis
- Post DateSun Dec 03 2017
Masa-masa sekolah dulu, pasti banyak di antara kita mempunyai “musuh.” Namun, ketika sudah lama tidak bertemu, gesekan itu lenyap seketika. Pembicaraan lebih ke menanyakan bagaimana kabar atau bekerja di mana. Sayang, teman satu ini tidak begitu kepada saya. Dia masih saja menaruh dendam. Padahal, kami tidak pernah terlibat pertengkaran dan sebenarnya tidak akrab.
Menghadiri undangan pernikahan adalah sebuah bentuk reuni tersendiri. Saya pribadi berusaha untuk selalu datang, karena ingin tahu keadaan teman lama. Lalu, secara tidak terduga, mereka, dua orang yang tanpa alasan membenci saya, datang.
Meski saya bukan seorang pakar micro expression, saya bisa merasakan bagaimana perasaan orang lain terhadap saya. Dan, mereka masih sama seperti dulu. Ketika saya menyalami, sekilas saya melihat bibir mereka miring, tanda ketidaksukaan. Kemudian, bola mata juga berputar, seolah-olah jengah. Belum puas, salah satu dari mereka bahkan mengatai saya gendut dengan nada sinis. Saya selalu bertanya-tanya, apa salah saya kepada mereka? Setelah memindai seluruh memori, memang benar kami tidak pernah berselisih. Bahkan, hal remeh nan menyakitkan yang mereka lakukan pun saya masih sangat mengingatnya. Suatu ketika saat pelajaran bahasa Indonesia, guru meminta mempresentatifkan teman dengan alat musik, hewan, buah, dan beberapa item lain.
Saya paham perempuan itu sangat sensitif kalau disinggung masalah penampilan. Maka, sebisa mungkin saya memilih apa-apa yang sekiranya tidak buruk. Sayang, mereka tidak demikian. Saya serasa dihajar habis-habisan. Pasalnya, salah satu dari mereka menuliskan “Petai” sebagai representatif buah untuk saya. Item lain? Jangan tanya bagaimana itu membuat saya sangat down.
Beralih ke momen lain ketika salah satu dari mereka mengeluh dengan sedih pada saya apakah penampilannya seperti orang tua, tidak stylish. Meski benar, saya tidak lantas mengiyakan. Saya memberinya saran untuk lebih bermain dengan warna dan memilih item fesyen yang lebih sederhana. See? Bahkan, sebenarnya dia tersinggung kalau dikata-katai soal penampilan, tapi kenapa bisa begitu frontal pada saya?
Satu-satunya alasan logis yang membuat mereka membenci saya hanya satu, setelah saya pikir-pikir sejauh ini. Namun, sebenarnya mereka tidak berhak seperti itu. Bukan salah saya kalau disukai seorang cowok populer yang sudah punya pacar, kan? Toh, pada akhirnya doi tidak pindah ke lain hati. Berarti saya bukan ‘pecakor’ alias perebut pacar orang.
Atau, apakah menganggap gadis biasa-biasa seperti saya tidak pantas mendapatkan perhatian doi? Kok cupu sekali, ya? Padahal banyak juga tuh pria bule yang justru tergila-gila pada wanita sederhana Indonesia.
Sudahlah, jangan benci orang sebegitunya, apalagi tanpa alasan kuat. Kata orang dulu sih pamali, terlebih sedang hamil. Nanti anaknya mirip sama orang yang dibenci. Iya, salah satu dari mereka memang sedang berbadan dua dan usia kandungan sudah tiga bulan. What a good news!
Cerdiknya teman lama saya ini dalam mengatasi mitos itu adalah meminta teman lain kami yang cantik dan sangat dihormati karena hal tersebut untuk mengelus perutnya agar ketularan. Seketika suasana menjadi rikuh. Kebayang bagaimana kalau kamu dalam keadaan itu? Yang bersangkutan saja sungkan, karena seolah-olah menunjukkan kesempurnaannya, sementara lainnya hanya bisa terbengong. Maka, dengan hati-hati, dia pun menuruti seraya menambahkan, “Tapi jangan sampai meniru kelakuanku, ya.”
Mitos yang mengarah ke candaan itu sah-sah saja sebenarnya. Namun, perlu melihat situasi juga. Kalau dilakukan secara personal tidak masalah, tapi kalau dalam keadaan berkumpul begini? Bukan tidak mungkin kan menimbulkan perasaan tersinggung? Sekali lagi, perempuan adalah makhluk sensitif kalau disinggung masalah penampilan. Entah, saya tidak tahu kenapa yang sesama begini malah tidak paham akan hal itu.
Satu-satunya orang yang tampak menerima kalau dikatai masalah fisik atau penampilan adalah pelawak. Faktanya, perempuan sangat berkebalikan. Kalau tidak enak dipandang, cukup membatin saja. Apa susahnya menahan ketidaksukaan berbonus menjaga perasaan orang lain? Sungguh, mencemooh hal tersebut bukan suatu kepuasan apalagi bahan guyonan.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)