Ketika Veronica Berpelukan dengan Iriana
- Post AuthorBy Rea Lisha
- Post DateWed Nov 08 2017
“Sahabat itu seperti bintang, tak selalu terlihat oleh mata tapi selalu ada.” Ungkapan ini melintas di kepala ketika melihat momen pelukan Veronica dan Iriana dalam pernikahan Kahiyang Ayu – Bobby Nasution.
Tangan Iriana mendekap erat punggung Vero seolah berkata, “Tetaplah kuat. Kamu tak sendirian.”
Raut wajah Vero seperti menahan gejolak hebat yang ia simpan sendiri dalam batin. Air matanya seperti mau tumpah, tapi ia menahannya sekuat tenaga. Kalau terpaksa harus bicara saat itu juga bisa jadi tangisnya pecah, seperti ketika ia harus membacakan surat Ahok waktu suaminya itu memutuskan untuk membatalkan rencana banding pada bulan Mei lalu.
Perempuan berzodiak sagitarius itu tidak mudah menceritakan masalah pribadi pada orang lain. Ia membuat batas tegas antara kehidupan pribadi dan profesional. Ketika harus berhadapan dengan wartawan saat suaminya masih Gubernur DKI Jakarta, sebagai ibu warga DKI ia sangat antusias menceritakan langkah-langkah yang sudah, sedang dan akan ia lakukan untuk kepentingan anak-anak dan perempuan di Jakarta. Tapi begitu pertanyaan mengarah ke wilayah privat, wajahnya seketika datar.
Saat dihadang wartawan yang meliput pernikahan Kahiyang – Bobby pun Vero hanya mengucap beberapa patah kata, “Cocok. Kan, aneka ragam, beraneka ragam.” Setelah itu ia berlalu tanpa bisa dicegah.
Jawaban itu menanggapi wartawan yang menanyakan pendapatnya mengenai Kahiyang yang suku Jawa mendapat jodoh Bobby yang suku Batak.
Jalan hidup orang, tak ada yang tahu. Tiap orang mempunyai jalannya masing-masing yang unik. Begitu pula Vero dan Iriana. Mereka dipertemukan dan menjadi dekat ketika Jokowi dan Ahok maju sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Dua tahun kemudian Jokowi dimampukan melampaui badai kampanye Pilpres dan mendapat kesempatan memberikan pelayanan lebih luas sebagai kepala negara RI. Sementara Ahok harus menghadapi “peperangan”nya sendiri. Ia melewati jalan terjal berliku dalam Pilkada, dikepung lawan-lawan politiknya dari delapan penjuru mata angin.
Sepertinya Ahok kalah. Benarkah Ahok kalah?
Sama seperti suaminya, Vero juga harus menghadapi proses-proses yang menyakitkan. Ia yang biasanya pergi berdua dengan suami ke acara undangan pernikahan, kini harus pergi sendiri. Ego manusia yang terdiri dari lapisan-lapisan seperti bawang merah sedang dikupas lapis demi lapis sampai titik nol. Harus mampu melepaskan diri dari keterikatan, ketergantungan pada orang lain, agar hati damai dan mampu melangkah dengan tegar.
Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ahok warga negara Indonesia, berhak memberikan yang terbaik bagi negerinya. Mungkinkah Ahok akan menjadi Nelson Mandela-nya Indonesia?
Lagipula presiden bukanlah tujuan, bukan satu-satunya jalan untuk berkontribusi bagi negeri. Ahok bisa menjadi Nelson Mandela di mana pun kelak ia ingin menempatkan diri. Pada saat itu tiba, Vero telah menjadi manusia yang lebih kuat dari sebelumnya.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)