Kita Bukan Sisifus, Tanggapan Terhadap Tulisan Goenawan Mohamad
- Post AuthorBy Peran Perempuan
- Post DateSat Nov 09 2019
Pande K. Trimayuni
Belum lama ini Goenawan Mohamad menulis dalam laman Fanpage FBnya, yang menganalogikan situasi dan kondisi politik Indonesia layaknya kisah Sisifus. Berikut petikan dari tulisan tersebut.
Kita ini Sisifus, kata seorang teman. Wajahnya lelah.
Kita berjerih payah mendorong batu harapan mencapai puncak. Kita berhasil memilih seorang presiden dengan jujur dan merasa lega bisa menyiapkan masa depan. Tapi segera kita tahu, momen lega itu tak lama. Kini batu karang yang kita naikkan itu mulai merosot, terancam menggelinding kembali ke bawah. Demokrasi merapuh. Partai politik dikuasai orang-orang yang bertindak seperti pemilik yang praktis bisa melakukan apa saja dan tak bisa diganti. Republik jadi sebuah oligarki. Mereka kendalikan Parlemen, mereka memaksakan kehendak bahkan ke Presiden — yang akhirnya beraliansi dengan mereka. Pada gilirannya para juragan politik ini akan membuat kita, rakyat, hanya sebagai papan pengganjal. Harapan kepada demokrasi kelar.
Kita ini Sisifus, kata teman tadi.
Dengan memakai perumpamaan itu, batu karang yang kemarin kita letakkan di pucuk gunung, harapan itu, akan bergeser. Kelak, (malah mungkin tak lama lagi), ia akan jatuh sampai ke dasar, dan kita — atau generasi setelah kita — akan megap-megap memunggahnya lagi ke puncak. (Lengkapnya di sini)
Jika kisah Sisifus dipakai dalam melihat politik Indonesia saat ini, menurut saya apakah kita mau melihat dari segi outputnya saja atau juga prosesnya?
Jika kita melihat dari segi output, yang kelihatan saat ini (yang sebenarnya juga bukan sesuatu yang tidak bisa berubah), bisa jadi akan kecewa. Ada keluhan mengapa pemilu yang sudah menghabiskan dana triliunan rupiah dan proses yang ‘berdarah-darah’ mesti berakhir dengan mengakomodir pihak lawan. Ini dianggap seperti perjuangan Sisifus yang sepertinya sia-sia mendorong batu ke puncak gunung akhirnya mengelincir lagi.
Akan tetapi jika kita lihat prosesnya, mungkin kita bisa punya cara pandang yang beda, bahwa ESENSI dari sesuatu itu bisa ada pada prosesnya, dari pengalaman itu sendiri.
Bisakah Sisifus memberikan penghargaan pada dirinya karena sudah berhasil mendorong batu ke atas gunung?
ESENSI dari pemilu yang kita adakan adalah adanya partisipasi publik dalam menentukan masa depan bangsa, itu yang terpenting. Jika kita hanya melihat dari cerita akhirnya saja dan tidak melihat prosesnya (sebagai sebuah pengalaman hidup berdemokrasi) maka bisa timbul sikap tidak peduli, apatisme dalam politik. Justru tidak baik untuk demokrasi.
Misalnya ada pemikiran, ya sudah jika ujung-ujungnya mereka bergabung juga, nggak perlu ada pemilu. Nah, apa seperti ini yg kita inginkan?
Harapan dan keyakinan itu penting. Bisakah kita memelihara keyakinan bahwa akan ada masanya dimana batu harapan itu akan tetap tegak di puncak gunung, musim akan berganti dan benih-benih peradaban yang lebih baik akan tumbuh di atasnya. (Pande)
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)