Komnas Perempuan: Darurat Ruang Aman untuk Perempuan
- Post AuthorBy Arista Devi
- Post DateSun Mar 11 2018
Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia sebagai bentuk solidaritas internasional agar perempuan di seluruh dunia terbebas dari diskriminasi dan kekerasan.
Pada setiap tahun peringatan International Women’s Day di berbagai belahan dunia dilakukan dengan berbagai cara, dari kegiatan berbentuk seminar, diskusi terbuka hingga demontrasi namun mirisnya hal tersebut belum bisa mengurangi maraknya tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Di Indonesia misalnya, kecenderungan kekerasan terhadap perempuan terus berkembang dan bertambah jumlahnya. Hal ini bisa dilihat dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang diluncurkan setiap bulan Maret. CATAHU merupakan catatan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani baik oleh 237 lembaga negara maupun lembaga masyarakat serta pengaduan yang langsung datang ke Komnas Perempuan.
Dalam CATAHU 2018, terdapat temuan kecenderungan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang berkembang sesuai konteks dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu:
A) Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Femicide atau pembunuhan perempuan, Poligami dan Perkawinan Anak.
B) Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis CYBER. Kekerasan jenis ini akhir-akhir ini muncul ke permukaan dengan massif, namun kurang dalam pelaporan dan penanganan. Dampak dari kejahatan cyber ini dapat menjatuhkan hidup perempuan, menjadi korban berulang kali, dan dapat terjadi seumur hidup.
Kekerasan berbasis Cyber bisa bermacam bentuknya:
– Cyber grooming: Pendekatan terhadap perempuan untuk memperdaya dan menipu.
– Cyber harrashment: Pengiriman teks atau pesan tertulis untuk menyakiti/menakuti/ mengancam/mengganggu
– Hacking: Peretasan
Illegal Content atau Konten Ilegal
– Infringement of privacy: Pelanggaran privasi perempuan.
– Malicious distribution: Ancaman distribusi foto/ video pribadi
– Online defamation: Penghinaan/ Pencemaran nama baik.
– Recruitment: Rekrutmen Online
C) INCEST. Kasus incest dengan pelaku ayah kandung atau pelaku pelecehan seksual anak dibawah usia 5 tahun adalah “pekerjaan rumah” terbesar negara dan bangsa Indonesia untuk merespon situasi kekerasan yang ekstrim. Walaupun sudah ada penghukuman yang ditujukan untuk menjerakan publik melalui Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) kebiri, tapi pada prakteknya tidak banyak mengubah darurat kekerasan seksual yang ada. Hal ini menunjukkan ada diskoneksi analisa negara terhadap penyebab kekerasan seksual dengan sistem penanganannya.
D) Pelaku kekerasan seksual di ranah personal, ada tiga kategori tertinggi yaitu: Pacar (1.528), Ayah kandung (425), dan Paman (322) dari 19 kategori pelaku kejahatan terhadap perempuan.
E) Perempuan masih menjadi sasaran yang selalu disalahkan dan di-bully termasuk dalam konteks perselingkuhan, poligami dan kejahatan perkawinan lainnya. Sementara pelaku utama justru lolos dari penghakiman sosial.
F) Konflik SDA dan Pemiskinan. Politik pembangunan infrastruktur yang massif, impunitas dan supremasi korporasi meminggirkan bahkan mengusir masyarakat penduduk asli atau masyarakat adat, mengundang migrasi paksa, perdagangan orang maupun kerentanan kerja-kerja domestik termasuk Pekerja Rumah Tangga (PRT). Perlawanan dianggap pembangkangan terhadap hukum dan kebijakan pusat dan daerah. Dampaknya pada perempuan adalah menambah beban pemiskinan.
G) Politik populisme sudah menawan isu-isu krusial menjadi jalan di tempat atau bahkan kemunduran dalam penanganan isu pelanggaran HAM masa lalu, atau semakin memburuknya isu-isu HAM perempuan yang dipolitisasi atau dianggap mengganggu moral mayoritas, seperti minimnya suara mencegah persekusi pada minoritas agama, minoritas seksual, politisasi isu perzinahan yang tidak bisa dibedakan dengan kekerasan seksual, dan lain-lain.
Meskipun demikian, ada sejumlah kemajuan yang berhasil dicatat dalam CATAHU 2018 ini, yaitu pengaduan kepada lembaga pengada layanan dari unsur pemerintah seperti Kepolisian dan Rumah Sakit meningkat. Artinya lembaga tersebut dibutuhkan dan dipercaya masyarakat, oleh karena itu diperlukan dukungan penambahan sumberdaya manusia, pelayanan dan penanganan yang cepat.
Selain itu Badan Peradilan Agama menjadi institusi negara yang melakukan reformasi pendataan, dimana terdapat kategori perceraian akibat KDRT, dan poligami sebagai penyebab perceraian.
Berangkat dari temuan dan pendokumentasian data CATAHU 2018, Komnas Perempuan menyampaikan enam rekomendasi kepada lembaga dan instansi Negara sebagai acuan tindakan dan kebijakan.
1. Kementerian Komunikasi dan Informasi -khusus untuk kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber- perlu membangun sistem teknologi komunikasi untuk mencegah meluasnya kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber.
2. Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak memastikan substansi dan mekanisme Undang- Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dijalankan oleh semua pihak terutama perlindungan pada korban dan akses keadilan bagi korban serta penghukuman untuk mencegah impunitas.
3. Kepolisian R.I melakukan pendokumentasian secara nasional dan massif tentang kejahatan femisida (femicide) sebagai bentuk kejahatan klimaks dari Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) agar terpetakan penyebab, pola dan langkah-langkah pencegahannya.
4. Kementerian BAPPENAS melakukan evaluasi arah dan prioritas pembangunan untuk meminimalisir isu-isu eksploitasi sumber daya alam, pembangunan infrastruktur yang berdampak buruk terhadap perempuan, dan penggusuran yang semakin memiskinkan dan merentankan perempuan.
5. DPR RI untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan terlebih dahulu membaca serius persoalan kekerasan seksual dengan perspektif HAM perempuan dan mengedepankan hak perempuan korban.
6. DPR RI menyegerakan ratifikasi Konvensi ILO 189 mengenai Kerja Layak PRT dalam Prolegnas Prioritas 2018.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)