Marah Terhadap Anak, Bolehkah?
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateWed Oct 04 2017
Banyak para ibu di era sekarang, yang merasa kesulitan saat menghadapi anak-anaknya. Mulai dari yang namanya anak tantrum, rewel karena tidak mau makan, hingga saat anak mulai nakal di ambang batas normal kenakalan. Padahal, yang namanya anak, kendali utamanya, seharusnya berada di tangan orangtua, bukan malah terbalik, kendali orangtua, berada di tangan si anak.
Anak, adalah tanggung jawab kita sebagai orangtua, sebuah tanggung jawab seumur hidup. Walau kelak mungkin setelah dewasa, ia bisa mengambil keputusan akan hidupnya sendiri, tapi peletak dasar batu pondasinya, ada di tangan kita sebagai orangtua. Karena kita adalah guru pertama, juga yang utama di kehidupannya.
Banyak para ibu muda sekarang, yang ketakutan, saat berada di situasi yang tak nyaman, yaitu saat harus menahan amarah, karena menghadapi kenakalan anak-anaknya. Mereka rerata berusaha menahan diri, agar tidak marah terhadap anaknya, walau si anak sudah melakukan kesalahan fatal. Hal yang jarang kita temui, di era anak-anak tahun ’70-80-90an. karena di era ’70-80-90an, kita pasti belajar banyak dari kesalahan kita, lewat marahan dari ibu kita, bahkan mungkin dengan sedikit bumbu bentakan juga cubitan.
Lalu, dengan kemarahan ibu ke kita, atas kesalahan-kesalahan kita, apa membuat miliaran sel otak kita rusak, hingga kita menjadi bodoh dalam menghadapi kehidupan di era sekarang? Tidak bukan?
Miliaran sel otak anak bisa rusak, demikian selalu alasan yang sering terdengar saat para ibu ketakutan untuk menegur anaknya, atau bahkan memarahinya saat kesalahan mereka kelewat batas. Padahal, dengan terlalu banyak kompromi, pembiaran, terhadap tingkah laku anak yang tidak semestinya, bukankah itu sama saja mengajarkan mereka menjadi pribadi yang mau menang sendiri, tidak mau mengalah, dan tidak mau tahu dengan keadaan sekelilingnya?
Kita bicara dengan ketakutan bahwa sel otak anak bisa rusak jika kita marah, membentak atau bahkan menghukumnya dengan sebuah cubitan atau jeweran di telinga, tapi kita tidak takut jika si anak tidak belajar dari kesalahannya. Bahwa apa yang ia lakukan itu salah, bahwa ia harus mulai tau apa arti tanggung jawab atas apa yang sudah ia lakukan, belajar berempati dengan keadaan.
Ibu, mendidik anak, dengan berkompromi sepanjang waktu. Mungkin kita bisa mentolerir kesalahannya, tapi orang lain belum tentu bisa. Dengan mentolerir kesalahannya, tidak dengan menegurnya, atau bahkan jika kesalahannya kelewat fatal, kita tidak memarahinya, maka kita sedang mencetak anak-anak dengan pribadi mau menang sendiri minim dan empati. Kenapa? Karena bukankah kita lebih banyak belajar dari sebuah kesalahan, saat ada yang menegur kita akan kesalahan-kesalahan kita, memberitahu di mana letak salahnya?
Mendidik anak, bukan melulu tentang berkompromi, sama halnya bukan melulu tentang marah sepanjang waktu. Tegurlah jika perlu ditegur, marahlah jika memang harus dimarahi, karena dengan memendam kemarahan pun, hanya seperti api dalam sekam, membakar kita secara perlahan, dan merusak mental kita sebagai orangtua. Pada akhirnya akan merusak semuanya.
Mengasuh anak, sama halnya dengan memoles sebuah permata, yang kita lakukan, tidak hanya dengan usapan yang lembut saja, tapi terkadang kita juga harus menggosoknya kuat-kuat, agar kilaunya bisa bersinar kemana-mana.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)