Memang Apa Salahnya Kalau Tak Berhijab?
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateWed Jun 06 2018
Beberapa waktu lalu, seorang kawan memposting fotonya, tengah asyik bermain di pantai dengan anaknya. Ia mengenakan bikini dan kain pantai, berlatar belakang pemandangan pantai Kuta yang mempesona.
Foto yang ia posting di media sosial itu, kontan menuai banyak komentar, ada komentar yang baik, tapi banyak pula komentar yang tak enak dibaca, cenderung nyinyir dan menyakitkan hati.
Mulai dari pujian, asyiknya bisa menikmati liburan bersama putra putrinya, hingga komentar tak sedap, semacam, “Aduh mbak, kok tubuhnya digratisin sih, ngga sayang dilihat banyak orang?”
Ketika dijawab oleh si empunya foto, bahwa ia tidak menggratiskan tubuhnya, toh itu di pantai, apa salahnya jika ia mengenakan bikini? Masa iya harus pakai pakaian tertutup rapat, mana nyaman, ini kan di pantai.
Eh la kok dijawab lagi, ”Nah mbak sendiri nyaman nggak dengan tubuh mbak yang dijual gratis.”
Jujur saja, saya yang membaca komentar itu, ikut emosi jadinya. Kok bisa dibilang tubuh digratisin, padahal jelas-jelas kawan ini memakai bikini, juga kain pantai yang melekat di tubuhnya, belum lagi, itu tubuhnya ngga dijual atau dikasihin ke orang lain lo, kok bisa-bisanya dibilang digratisin. Ngga sopan banget ngga sih, komentar semacam itu? Lagipula itu foto di pantai, apa salahnya berbikini dan mengenakan kain sarung pantai coba?
Komentar tersebut, terang saja menuai banyak komentar lain dari kawan-kawan lainnya juga. Banyak yang merasa tak nyaman dengan tuduhan menggratiskan tubuh, hanya karena memakai pakaian tak tertutup rapat semacam hijab atau niqab. Tapi ya orang tersebut dan beberapa yang lainnya tetap saja ngeyel, bahwa sebagai sesama kaum muslimah, sudah kewajibannya untuk mengingatkan muslimah lain untuk berhijab atau berniqab, sesuai ajaran agama.
Duh, bukannya itu balik lagi yak, masalah personal, dan pilihan masing-masing manusia? Toh perkara iman dan agama, adalah ranah personal, ranah hak, bukan ranah kewajiban?
Dan sayangnya, ternyata komentar-komentar semacam itu, ternyata banyak diterima pula oleh kawan-kawan lain yang tak mengenakan pakaian tertutup semacam hijab atau cadar, sementara mereka ini muslim. Padahal apa salahnya memakai pakaian biasa saja, tak tertutup rapat dengan hijab atau niqab, bukankah itu pilihan pribadi, kenapa harus jadi masalah oleh orang lain?
Semenjak kiblat fashion di negeri ini berubah, menjadi kiblatnya pakaian tertutup semacam hijab dan niqab, memang banyak sekali perempuan-perempuan yang merasa bahwa ia yang memakai pakaian tertutup, sudah “sewajibnya” mengingatkan perempuan lain yang tak berhijab ataupun berniqab, untuk menutup tubuhnya, dengan pakaian yang sama dengan mereka.
Dan “kewajiban” semacam itu, tak jarang justru menjadi sebuah intimidasi bagi perempuan lain yang memilih memakai pakaian biasa saja, tanpa hijab maupun niqab. Mulai dari sindiran-sindiran halus semacam perintah agama, hingga teguran langsung yang tak sopan semacam menyamakan dengan permen yang terbuka dan dikerubutin lalat, sudah jamak didapatkan.
Aneh to, apa sih yang dicari, bukannya ajaran agama itu harusnya lebih ke dalam diri, untuk diri sendiri, bukan untuk menyakiti yang lainnya, dengan dalih “sudah kewajiban untuk saling mengingatkan”. Toh saya rasa, semua orang yang dewasa, sudah pasti mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, kenapa pula harus menjadi masalah dan kerepotan orang lain?
Mau pakai hijab, mau pakai niqab, ataupun rok mini, itu adalah kebebasan bagi semua perempuan diatas bumi ini, yang merdeka, semerdeka-merdekanya atas tubuhnya.
Tak seharusnya, sesama perempuan saling menghakimi, hanya karena pilihan pakaian yang berbeda satu dan lainnya. Sepanjang tak saling menyakiti, tak saling mengganggu, kenapa harus jadi masalah dan dijadikan ajang perdebatan yang tak perlu?
Namun sayangnya, yang seringkali terjadi memang sebaliknya, ada sebagian dari mereka-mereka yang berhijab dan berniqab, seringkali merasa lebih syar’i lebih suci, dibanding yang memilih memakai pakaian biasa saja. Mereka merasa ‘perlu’ mengingatkan perempuan lain untuk segera ‘bertobat’ dengan memakai hijab ataupun niqab.
Belum lagi, stereotype atau pelabelan semacam, perempuan yang tak menutup auratnya dengan hijab atau niqab itu sama dengan permen yang dibuka bungkusnya, sesungguhnya adalah sebuah bentuk kekerasan secara verbal. Atau bisa dibilang salah satu bentuk kejahatan pelecehan, juga perundungan.
Aneh bukan, saat agama, justru dijadikan alasan dan pembenaran, oleh mereka yang merasa dirinya paling benar, untuk menghakimi orang lain. Padahal, seharusnya, perbedaan yang ada, dijadikan pelengkap saja, sebagaimana warna pelangi yang beraneka warna, tak hanya hitam dan putih saja.
Dan iman, adalah ranah personal, tak selayaknya diributkan dan dipamerkan, lewat etalase-etalase pakaian, yang tak sebanding dengan kata-kata serta justifikasi yang keluar dari mulut kita. Seperti kata sebuah petuah bijak, “ Sembunyikanlah imanmu, sebagaimana kau sembunyikan baik-baik dosa-dosamu.”
- Post Tags#hijab. niqab#rok mini
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)