Skip to main content
Categories
BeritaHeadlineHer StoryInspirasiKemanusiaanPolitik

Mengeruk Dana Besar dari Produksi Fitnah Politik Keji

“… ketika ‘croc brain’ seseorang sudah teraktifkan, rasionalitasnya pun hilang. Anda kasih bantahan selogis apapun, dia tidak akan percaya.”

Dina Sulaeman, pengamat Hubungan Internasional dan pakar Timur Tengah kemarin menuliskan analisisnya mengenai produksi fitnah yang memiliki dana besar untuk menghancurkan sebuah negara. Artikel tersebut ia posting di Fanpage FB-nya, yang berjudul “Pembantaian dan Industri Kebencian (2)”.

Pembantaian dan Industri Kebencian (2)

Dina Sulaeman

Kebencian yang sifatnya massal disebabkan oleh isu yang difabrikasi (dibuat secara sengaja dengan berbagai metode dan strategi). Memfabrikasi isu yang membangkitkan kebencian jelas butuh dana besar.

Pada tahun-tahun awal Perang Suriah, tiba-tiba saja kebencian kepada penganut Syiah di Indonesia meluas. Buku yang isinya memfitnah Syiah (dan diberi logo MUI, padahal MUI secara lembaga menyatakan tidak menerbitkan buku itu) dicetak jutaan eksemplar lalu dibagikan secara gratis di masjid-masjid. Pengajian dan road show digelar di berbagai penjuru Indonesia, membahas konflik Suriah plus hujatan terhadap Syiah. Ini butuh dana besar, dari mana?

Ada negara-negara tertentu yang dikenal sebagai funding kelompok radikal. Sumber lainnya adalah donasi masyarakat. Para pengunjung majelis taklim atau seminar yang sudah disentuh emosinya atau otak reptil (croc brain)-nya, dibikin ketakutan, akan mudah merogoh kocek.

Saya pernah amati sebuah gerakan donasi online yang ‘menjual’ isu Suriah. Luar biasa, kurang dari sepekan sudah meraup 3 M. Padahal ada banyak lembaga yang menggalang donasi untuk Suriah dengan isu yang berganti-ganti, selama 8 tahun terakhir. Berapa dan kemana uangnya mengalir?

Mereka menjual ‘Aleppo Berdarah’, ‘Pembantaian Ghouta’, atau ‘Madaya menjerit’ (nama-nama kota di Suriah). Coba saja Anda buat penggalangan donasi dengan menyebut nama desa di Indonesia yang butuh dana untuk memperbaiki sekolah yang rusak, tidak akan sebanyak itu hasilnya. Mengapa? Karena info soal sekolah yang rusak tidak menyentuh croc-brain orang Indonesia; tidak akan muncul rasa terancam dan ketakutan.

Manusia-manusia yang sudah kena otak reptilnya, akan menjadi zombie yang mudah digerakkan untuk apapun. Kelompok pro-jihadis Suriah di Indonesia, dalam pilpres dan pilkada mengusung isu pekerja China membanjiri Indonesia, LGBT akan dilegalkan, azan akan dilarang oleh capres tertentu.

Semua isu itu memunculkan ketakutan atas hal-hal asasi (misalnya, keselamatan ekonomi, keselamatan anak, keselamatan ibadah) sehingga mengaktifkan ‘croc brain’ (bagian otak yang bereaksi saat takut). Dan sialnya, ketika ‘croc brain’ seseorang sudah teraktifkan, rasionalitasnya pun hilang. Anda kasih bantahan selogis apapun, dia tidak akan percaya.

Di level global, kebencian ini juga menjadi industri yang mendatangkan uang besar. Misalnya, soal Suriah. Mereka sentuh emosi publik dengan foto dan film anak-anak Suriah korban ‘senjata kimia’ atau ‘bom barel’ dari ‘rezim diktator’. Donasi publik pun mengalir.

Dari mana foto dan film itu didapat? Dari sebuah kelompok yang mengaku tim SAR (Search and Rescue) bernama White Helmets (WH). Boris Johnson (Menlu Inggris) menyatakan telah menggelontorkan dana 32 juta Poundsterling untuk WH. Mark Toner (Jubir Kemenlu AS) mengatakan bahwa AS telah memberikan 23 juta dollar untuk WH.

Media-media mainstream secara masif mempromosikan WH, memunculkan citra betapa WH adalah pejuang kemanusiaan, melawan rezim diktator bengis. Siapa yang mengatur semua upaya promosi ini? Ternyata sebuah perusahaan public relations, Purpose Inc, berkantor di New York. Gratisan? Tentu saja tidak.

ISIS dan Al Qaida (dengan berbagai nama) di Suriah memiliki persenjataan canggih. Para milisinya, yang datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, mendapatkan gaji bulanan ratusan hingga ribuan dollar. Siapa yang menyuplai dananya?

Kembali ke Christchurch, pertanyaan para host dan analis CNN dan BBC yang saya tonton di pesawat adalah ‘mengapa ini terjadi di Selandia Baru yang dikenal sebagai negara yang damai dan toleran’?

Salah satu jawaban (yang disampaikan PM Jacinda, beberapa hari kemudian): ini adalah aksi individual. Mayoritas warga tidak setuju dengan kejahatan tersebut dan memandang kaum Muslim sebagai saudara sebangsa.

Namun, tak dapat dipungkiri, banyak politisi di negara-negara Barat yang menggunakan kebencian kepada Muslim sebagai jualan politik mereka, dibantu oleh media. Trump salah satunya. Trump menang pilpres karena jualan ketakutan itu.

Sementara itu, data dari Global Terrorism Index (2014) menunjukkan bahwa 78 % kematian akibat terorisme pada 2014 terjadi di negara berpopulasi mayoritas Muslim: Irak, Afghanistan, Nigeria, Pakistan, dan Suriah. Artinya, para ‘jihadis’ lebih suka membunuh sesama Muslim (yang mereka pandang kafir). Siapa yang menanamkan doktrin kebencian kepada mereka? Siapa yang membiayai pengajian, sekolah, dan media berideologi kebencian itu? Tujuannya apa? Apa balik modal yang dicari?

Semua pertanyaan itu terlalu panjang dijawab dalam 1 tulisan ini (tapi berkali-kali saya jelaskan dalam tulisan lain, juga dalam buku saya Prahara Suriah dan Salju di Aleppo).

Yang ingin saya sampaikan di sini adalah pemetaan aktor. Ada 3 kelompok besar dalam kasus terorisme, baik yang dilakukan atas nama Islam atau white-supremacist:
(1) pelaku
(2) korban dan warga biasa pada umumnya
(3) penyuplai dana.

Pemetaan ini juga penting dipahami dalam menyikapi kondisi di Indonesia akhir-akhir ini. Kita jangan melulu fokus pada kelompok-1 lalu terjebak pada generalisasi (misalnya: non-Muslim memandang seluruh Muslim sebagai pendukung teror; atau Muslim memandang bahwa seluruh non-Muslim adalah pembenci Muslim).

Kita perlu menyadari bahwa ada industri, ada uang besar di balik semua virus kebencian ini, agar bijak bersikap, menolak diadu-domba demi kepentingan kelompok-3.

Dan seruan saya kepada negara: kelompok-1 yang aktif menyebarluaskan kebencian (bahkan ancaman pembantaian) perlu ditindak. Tapi, kalau negara hanya fokus di kelompok-1 tanpa menindak kelompok-3, sampai kapan pun kelompok-1 akan terus aktif, silih-berganti.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends