Mimpi Anak Desa Menjadi Novelis
- Post AuthorBy Yalie Airy
- Post DateSat Jan 06 2018
“Kamu cuma orang desa, jangan neko-neko pingin jadi ….”
Sering dengar kata itu? Saya sudah kebal. Bahkan banyak yang berkata, “Kamu cuma orang miskin jangan ngimpi jadi ….”
Apa salahnya?
Apa yang salah jika orang desa bermimpi ingin jadi ini, ingin jadi itu? Apa yang salah juga jika orang miskin memiliki mimpi setinggi langit? Bukankah setiap orang berhak memiliki sebuah impian?
Impian adalah sebuah angan yang didamba setiap orang, tak peduli apa pun bentuk impian itu. Karena dari sebuah impianlah, seseorang memiliki motivasi untuk berusaha, memiliki keinginan agar hidupnya menjadi lebih baik.
Dulu, sering saya mendengar ejekan seperti itu. Bukan hanya dari orang luar, bahkan dari orang terdekat sendiri. Orang-orang yang saya harapkan memberi dukungan, hal itu menciptakan sedikit rasa sakit dalam hati. Tapi justru karena hal itu, saya semakin bertekad untuk membuktikan bahwa saya bisa meraih mimpi saya.
Seperti quote yang diucapkan Gustaeuf di dalam film “Ratatouile” bahwa “Tak semua orang bisa menjadi orang sukses, tapi orang sukses bisa berasal dari mana saja.”
Dalam film itu bisa dibuktikan, bahwa tikus pun bisa menjadi koki terbaik di Paris. Lalu apa salahnya jika orang desa ingin menjadi sesuatu yang bisa dikenang suatu saat nanti? Saya orang desa, lahir di desa, besar di desa, hanya sekarang saja tinggal di kota karena suami orang kota. Tapi terkadang ungkapan itu masih juga terdengar, hanya karena kita bukan lulusan S1, S2, atau S3.
Mimpi saya adalah ingin menjadi seorang penulis profesional. Saya suka menulis sejak kecil, tapi rasanya mimpi menjadi seorang novelis itu terdengar aneh di desa saya. Sebagian teman yang suka membaca dan menulis sih mendukung, tapi beberapa kerabat bahkan tetangga terdekat merasa kalau saya ini neko-neko. Tapi berhubung saya ini orang yang keras kepala jadi saya tidak mau mengubur mimpi saya begitu saja, meski selama ini selalu terkendala pekerjaan.
Akhirnya saya mulai mengenal blog pribadi tahun 2011, tapi waktu itu saya baru menulis beberapa artikel saja, saya sudah harus kehilangan laptop saya satu-satunya. Lalu banyak hal yang terjadi, membuat saya berhenti menulis hingga beberapa tahun. Hingga tahun 2014 saya dipertemukan kembali dengan blog keroyokan Kompasiana, di sanalah saya mulai merajut kembali mimpi-mimpi saya. Karena respon dari teman-teman dan para pembaca yang baik, maka saya menjadi bersemangat kembali untuk tetap meraih impian saya.
Bertahun saya semakin kenal dengan banyak platfom, membuat saya merasa kesempatan akan semakin luas. Sayangnya sampai sekarang saya masih menjadi penulis amatir, he…he…
Tapi saya sangat bersyukur, meski begitu beberapa teman sudah menjadi pembaca setia novel-novel saya secara online, bahkan sering terkadang mendapat email kapan lanjutin novel yang ini, novel yang itu. Berhubung banyak novel yang dikerjain, jadi saya lagi mau fokus dulu ke satu novel. Dan antusias teman-teman itulah yang membuat saya tidak ingin berhenti untuk meraih impian saya.
Alhamdulillah meski baru laku sedikit tapi saya sudah memiliki satu novel terbit.
Meraih mimpi itu tidak peduli dari mana kita berasal, yang kita perlukan adalah perjuangan dalam menggapai impian itu. Bisa kita lihat, JK Rowling, siapa dia? Sepertinya sekarang tidak ada yang tidak mengenal namanya. Tapi dulu, siapakah dia? Dia hanya janda miskin yang bahkan makan pun susah, tapi karena kegigihannya dan kengototannya dengan novel Harry Potternya yang bahkan sudah ditolak banyak penerbit, akhirnya sekarang dia bisa membuat namanya dikenal di banyak negara di seluruh dunia. Hal itu sudah membuktikan bahwa untuk menjadi seseorang yang sukses, untuk meraih mimpi bukanlah diukur dari mana kita berasal. Tapi dari upaya dan usaha yang kita lakukan.
Percayalah dengan dirimu sendiri, percayalah dengan Tuhan yang tak mungkin membiarkan bakat yang telah dianugrahkan kepadamu menjadi sia-sia.
Raih impianmu dan buktikan bahwa kau bisa. Semakin banyak orang yang meragukanmu, maka semakin besar tekadmu untuk membuktikan diri.
Jakarta, Januari 2018
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)