Para Perempuan Setia Penjaga Kota Tua Lasem
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateSat Jan 06 2018
Pagi itu mbak Genduk sedang asyik meracik sayuran di dapur kotor yang terletak terpisah dari rumah utama emak Liem. Ditemani Redo, seekor anjing berjenis pompom, yang juga sedang sibuk sendiri dengan kutu-kutu di badannya.
“Mau memasak sayur lodeh, kata mbak Genduk, sama ngegoreng ikan peda, plus sambal mentah. Tapi sambalnya paling nanti saya makan sendiri, sama tukang-tukang yang numpang istirahat di sini mbak, nyah Liem ndak doyan sambel, pedes,” katanya menjelaskan.
Mbak Genduk, sosok perempuan paruh baya ini, masih setia mengabdi pada keluarga emak Liem. Menurut cerita emak Liem, yang bernama lengkap Sik Liem Nio ini, mbak Genduk bekerja di rumahnya, sudah lebih dari 20 tahun, sejak babah Nyoo Thiam Ing, suami emak Liem masih hidup, dan masih membuat sejenis kue pia khas Lasem sebagai usahanya.
Ya, permintaan akan kue Tiong Ciu Pia khas Lasem memang masih tinggi, bahkan hingga sekarang. Mbak Genduk yang berasal dari desa Pamotan tersebut, bahkan masih bertahan di rumah emak Liem, meski babah Nyoo sendiri sudah meninggal sejak tahun 2008, emak Liem sendiri sudah tak lagi memproduksi kue Tiong Ciu Pia karena keterbatasan tenaga. Pun kedua anaknya bekerja di luar kota Lasem, praktis tak ada lagi yang meneruskan usaha yang sudah turun temurun dilakukan itu.
Tak jauh dari rumah emak Liem, ada pula emak Lena, dengan mbak Lim Lan, yang juga sudah bertahun, menemani emak Lena yang hidup melajang hingga senja. Saat ini, emak Lena sudah berusia 81 tahun, pun lumpuh, karena terjatuh di kamar mandi.
Rumah emak Lena, yang bergaya khas arsitektur Hindia Cina, tampak sepi, saat mbak Lim Lan, yang berasal dari Kalimantan ini, dan suaminya, pak Kadar, membersihkan halaman dari daun-daun yang berguguran. Rumah-rumah yang ada di sana, hampir sama bentuk arsitekturnya, gaya campuran Hindia Cina kuno, dengan deretan kamar mandi di luar rumah utama, sumur lebih dari satu, dapur bersih dan dapur kotor yang terpisah jauh. Hingga diperlukan waktu yang tak sedikit untuk membersihkannya.
Deretan rumah tua di jantung kota Lasem tersebut bisa dibilang cukup rapi. Penataan city landscape yang cukup maju untuk jamannya. Mengingat rata-rata rumah yang ada di situ, dibangun sejak abad 17-18 dan ditempati turun temurun dari generasi ke generasi. Namun sayang, tak jarang rumah-rumah tersebut dibiarkan terbengkalai, atau ditempati seekedarnya, dijaga oleh para perempuan-perempuan berumur, yang masih setia mengabdi meski para majikannya telah tiada.
Seperti mbak Minuk, yang berasal dari kota Tuban. Mbak Minuk, mengabdi pada engkong Lo Geng Gwan sejak tahun 1977. Saat itu, mbak Minuk yang masih berusia 20 tahun, mengurusi semua kebutuhan emak Lim Luan Niang, saudara perempuan engkong Gwan, yang masih memproduksi batik Lasem. Kedua bersaudara ini tak ada yang menikah, hingga akhirnya umur membatasi gerak emak Niang, yang membuat ia tak lagi sanggup meneruskan usaha batiknya, pun engkong Gwan, yang juga telah berusia senja. Dua tahun yang lalu, emak Niang berpulang, meninggalkan engkong Gwan sendirian, yang semakin membuat mbak Minuk tak tega untuk kembali pulang pada anak cucunya di Tuban.
“Lebaran saja saya disini, ndak tega ninggalke engkonge. Engkonge dah tua gitu, dah 90 lebih, ndak ada anak, ndak ada sodara. Pulang Tuban paling lima bulan sekali, itu saja ndak lama-lama. Masio engkonge ada yang ngurus, salah satu rewange kerabate, tapi saya tetep kepikiran.”
Rumah tua tersebut nampak suram, meski ada engkong Gwan dan mbak Minuk yang menempati. Jelaga melapisi sebagian besar kayu yang menjadi penopang utama rumah tersebut. Perabot tembikar tampak bertumpuk terbengkalai, sisa-sisa peralatan membatik yang berumur puluhan tahun pun tergeletak begitu saja, tak tersentuh tangan. Hanya ada kehangatan cinta, ikatan kekerabatan yang terjalin sekian lama antara abdi dan majikannya, cinta yang tak lagi membutuhkan kata untuk merangkainya, yang sedikit menghangatkan rumah tua yang tampak dingin dan suram tersebut.
Ya, hanya ada cinta, dari para perempuan setia, perempuan buruh yang seringkali dimarjinalkan, dinafikkan keberadaannya karena dianggap warga kelas rendah. Padahal ketulusan, seringkali berbalut dalam setiap polesan tangannya dalam bekerja, bukan melulu tentang uang, bukan melulu tentang sesuatu yang bisa diukur dengan nominal.
Di sini, di sudut-sudut kota tua Lasem, ada cinta yang tak terbatas oleh waktu, yang tak tergerus jaman, meski waktu enggan berhenti, untuk sekedar duduk manis, menikmati setiap celoteh, dan tawa yang ada.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)