Pasijah, Kartini Berbalut Lumpur yang Selamatkan Lingkungan
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateSat Apr 21 2018
Sepanjang pesisir Pantura, atau pantai utara Jawa, banyak cerita abrasi yang menggerus lahan perumahaan rakyat. Sepanjang tahun, garis bibir pantai, memang semakin menjorok, jauh ke daratan. Hal ini disebabkan tidak adanya pepohonan semacam tanaman mangrove, yang bisa menahan gempuran ombak yang pelan-pelan mengikis pinggir pantai.
Di Semarang misalnya, perumahan masyarakat di pesisir pantai, sepanjang pasar ikan Tambaklorok dan sekitarnya, banyak yang didirikan di atas tanah yang akhirnya menjadi rawa-rawa. Tanah yang tadinya kering, berubah menjadi tanah berair, karena air laut yang naik ke daratan. Bahkan ada juga, kuburan masyarakat umum, yang terendam oleh air laut di sekitar situ.
Abrasi air laut, memang sudah menjadi ancaman sejak lama. Kesadaran masyarakat akan budaya tanam mangrove guna menjaga daratan dari abrasi air laut, juga baru dikenal beberapa tahun terakhir ini. Meski pada dasarnya amat sangat terlambat, tapi pada akhirnya, kita memang hanya bisa berharap pada tanaman serba guna yang satu ini.
Ada satu daerah perkampungan di Sayung, Demak, yang mengalami abrasi parah. Dulu, di desa Bedono, Sayung, adalah salah satu pusat pertanian tanaman cabai, bawang merah, juga padi. Ya, Demak memang dulu terkenal sebagai salah satu lumbung padi masyarakat Jawa Tengah di daerah Pantura, sama halnya dengan Pemalang.
Namun sejak terkena abrasi, lahan pertanian di desa Bedono, menghilang tertutup air rob. Sementara penghuni desa Bedono, terpaksa mengungsi secara bedol desa, karena air pun memasuki rumah mereka, menyebabkan mereka seolah hidup di atas air. Jelas bukan hanya masalah kenyamanan, tapi juga kesehatan yang dipertanyakan, jika terus bertahan hidup di lingkungan seperti itu.
Beruntung, di antara sekian warga Bedono, masih ada yang mau bertahan di Bedono, guna menjaga lingkungan yang telah lama ditinggalkan tersebut. Pasijah, nama perempuan yang mau bertahan menjaga lingkungannya dari gempuran abrasi yang kian parah. Selain keadaan yang memaksanya bertahan di desanya yang terendam air tersebut, pada akhirnya, kecintaannya pada laut, juga membuatnya bertahan untuk berusaha “merawat” laut.
Ya, Pasijah menjaga lingkungannya, bekerja sebagai relawan penanam mangrove. Dulu, 14 tahun yang lalu, Pasijah tak mengenal apa itu mangrove. Hingga sebuah LSM yang peduli pada lingkungan hidup, mengenalkannya pada program penanaman mangrove. Ia diajari, bagaimana caranya menanam mangrove, menjaganya, hingga melakukan pembibitan mangrove.
Atas kinerja Pasijah yang tak mengenal lelah, lingkungan Sayung, sekarang jauh lebih baik dari yang namanya ancaman abrasi. Hutan mangrove di sepanjang pesisir pantai, hasil kerja keras Pasijah, menghijau, juga menjaga daratan, dari kerusakan karena air laut.
Di sisi lain, masyarakat sekitar, terutama para ibu rumah tangga, yang juga dibimbing oleh LSM yang sama, mengajari bagaimana memanfaatkan buah pohon mangrove. Buah-buah mangrove itu mereka olah menjadi berbagai makanan. Mulai dari syrup, dodol, juga manisan.
Pasijah, seolah menggenapi cita-cita Kartini, bahwa perempuan, tak hanya menjadi kanca wingking. Pasijah, mungkin mengenal Kartini hanya lewat perayaan-perayaan Hari Kartini yang jatuh tiap tanggal 21 April saja. Tapi Pasijah berhasil mengimplementasikan cita-cita luhur Kartini atas perempuan Indonesia.
Ya, bunga teratai, akan selalu terlihat cantik, meski berbalut lumpur….
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)