Pelakor, Salah Siapa?
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateMon Nov 20 2017
Dunia selebritis tanah air kembali heboh dengan cerita pelakor yang dialamatkan kepada artis Jennifer Dunn dan Umi Pipik. Kasus Jennifer Dunn, yang akrab dipanggil Jedun oleh para penggemarnya ini bahkan sempat terekam kamera dilabrak oleh salah satu putri dari pasangannya saat ini. Sementara Umi Pipik, masih tetap bungkam dengan berita bahwa dirinya sudah menikah dengan Sunu, vokalis Matta Band, yang diketahui juga sudah memiliki istri bernama Suci dengan 3 orang anak.
Pelakor, kata ini baru muncul beberapa tahun terakhir ini. Dipopulerkan oleh akun gossip Lambe Turah, yang terkenal memiliki banyak follower, di berbagai media sosial yang ada saat ini. Kata ini sendiri merupakan singkatan dari sebutan Perebut Laki Orang. Dan dialamatkan pada perempuan-perempuan yang diketahui berhubungan dengan para laki-laki yang sudah memiliki pasangan denngan status legal, atau menikah.
Drama pelakor ini, memang menjadi konsumsi gurih yang laris digoreng oleh para akun gosip selebritis, yang repotnya, banyak penggemarnya. Bahkan dikonsumsi bukan hanya oleh para ibu-ibu jaman now yang doyan mantengin infotaiment atau akun gossip di media sosial, tapi bahkan dikonsumsi oleh bapak-bapak, anak remaja, hingga para pemuka agama. Itulah sebabnya, bahkan ada ustad yang khusus membahas cerita tentang Umi Pipik dengan suami barunya.
Jika kita bicara pelakor, tentu saja, tokoh utama yang mendapat cercaan, cacian serta hujatan, jelas perempuan yang menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan pernikahan. Atau jaman dulu, orang akan menyebutnya sebagai wil, atau wanita idaman lain. Padahal, sebuah hubungan yang terjalin, pastinya bukan karena satu pihak saja yang melakukan. Tanpa respon balik dari pihak satunya, tak mungkin sebuah jalinan kasih terjalin antara dua manusia.
Inilah yang seringkali luput diperhatikan. Kita, perempuan, cenderung sibuk “mengejar” perempuan yang masuk ke hidup pasangan kita, tapi melupakan bahwa tokoh kunci dalam hubungan yang tak semestinya terjalin itu, justru pasangan kita.
Ya, kita seringkali lupa, alpa dengan hal yang krusial dalam sebuah pernikahan, yaitu perasaan pasangan. Sebuah pernikahan, jika terjadi adanya wil, pasti karena pasangan kita membuka diri terhadap perempuan lain, bukan karena godaan perempuan lain, karena kunci utama sebuah hati, ya dipegang oleh si pemilik hati. Saat ada perempuan lain mendapatkan porsi lebih, ya pasti karena si lelaki membuka hati untuknya.
Sebuah pernikahan, yang sedang di ambang batas karena godaan perempuan lain, seharusnya ditelaah kembali oleh para pelaku utamanya, yaitu suami, dan istri. Kita, sebagai perempuan, harusnya melihat terlebih dahulu ke diri kita sendiri, apa yang sudah kita lakukan, apa yang kuranng dalam diri kita, kesalahan apa yang kita lakukan, hingga pasangan kita berpaling pada perempuan lain. Dan jika kita sudah menemukan apa masalah yang ada dalam diri kita, perbaiki. Tapi, jika memang tak menemukan masalah apapun, komunikasi serta hubungan rumah tangga baik-baik saja, maka boleh kita melihat kepada pasangan kita. Apa yang membuat dia berpaling, mengapa, apa yang ia cari, bagaimana kok bisa ia mengingkari sebuah komitmen bernama pernikahan.
Hubungan, dalam bentuk apapun, it takes two tango, ada imbal balik. Mustahil ada sebuah hubungan yang berjalan, tanpa adanya imbal balik dari dua belah pihak. Itulah sebabnya, sebaiknya, jangan buru-buru menyalahkan perempuan lain saat kita tahu pasangan kita sedang menjalin hubungan dengan perempuan tersebut. Tapi telaah lagi, cari akar masalahnya, agar bisa diselesaikan. Karena biar bagaimanapun, pernikahan, bukan tentang ego dua orang manusia saja yang bernama suami dan istri, tapi ada anak-anak yang juga punya hati dan rasa. Apa jadinya jiwa mereka, jika kita sibuk mementingkan ego kita akan rasa.
- Post Tags#Pelakor
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)