Penghentian Femicide (Pembunuhan terhadap Perempuan) Tanggung Jawab Siapa?
- Post AuthorBy Arista Devi
- Post DateWed Nov 15 2017
Permasalahan rumah tangga antara dokter Helmi dan dokter Lety Sultri berujung pilu. Lety tewas usai diberondong peluru oleh suaminya di depan tempat kerjanya sendiri. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), peristiwa yang dialami almarhum dr. L merupakan sebuah femicide (Pembunuhan terhadap perempuan karena dia seorang perempuan).
Dalam Siaran Pers Komnas Perempuan yang bertajuk ‘Alarm bagi Negara dan Kita Semua: Hentikan Femicide (Pembunuhan terhadap Perempuan)’ yang dilansir pada tanggal 13 November 2017, Komnas Perempuan menyatakan turut berduka dan mengutuk keras kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan yang semakin menggerus rasa aman, khususnya bagi perempuan dan masyarakat luas pada umumnya.
Kasus dr. L hanya salah satu dari sekian kasus yang sudah terjadi. Almarhum telah melapor kepada polisi atas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialaminya, tetapi polisi tidak menahan pelaku dan tidak memberikan perlindungan sementara kepada korban. Padahal di dalam UU PKDRT terdapat 10 pasal khusus yang mengatur tentang perlindungan sementara dan perintah perlindungan untuk korban. Tapi pada review 10 tahun implementasi UU PKDRT yang dilakukan Komnas Perempuan, aspek perlindungan dan keamanan korban seperti inilah yang paling lemah dijalankan.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2017 juga memperkenalkan lebih jauh tentang femicide, pembunuhan perempuan karena dia perempuan. Arti femicide adalah penghilangan nyawa perempuan berhubungan dengan identitas gendernya. Femicide adalah puncak dari KtP (Kekerasan terhadap Perempuan) yang berakhir pada hilangnya nyawa perempuan.
Femicide jarang terungkap/dilaporkan karena dianggap korban sudah meninggal. Komnas Perempuan mencatat bahwa femicide minim terlaporkan ke Komnas Perempuan ataupun lembaga layanan masyarakat karena dianggap korbannya sudah meninggal/ sudah tidak ada, padahal hak asasi seseorang atas martabat, hak kebenaran, hak atas keadilan dan sebagainya, tidak berhenti dengan hilangnya nyawanya.
Kasus femicide cenderung hanya dianggap kriminalitas biasa yang mesti ditangani polisi, yang lebih fokus untuk mencari pelaku, minim analisa GBV (Gender Based Violence atau Kekerasan Berbasis Gender) tidak ada diskusi dan kurang perhatian aspek pemulihan korban serta keluarganya.
Sudah waktunya Femicide perlu menjadi perhatian, karena bisa saja terjadi karena tidak dijalankannya fungsi perlindungan korban saat terancam nyawanya, termasuk dalam konteks PKDRT. Femicide terjadi karena masih kuatnya kuasa patriarki, relasi kuasa antara pelaku dan korban, dan pelaku adalah orang-orang dekat yang dikenal korban.
Pola-pola femicide yang selama ini dianalisa Komnas Perempuan berasal dari data terlaporkan langsung, tertulis, media dan mitra, menunjukkan bahwa femicide dapat disebabkan oleh kekerasan seksual dengan atau berakhir pembunuhan, ketersinggungan maskulinitas seksual laki-laki, kecemburuan, kawin siri yang tidak ingin terbongkar, menghindar tanggungjawab karena menghamili, prostitusi terselubung yang minim pantauan, kekerasan dalam pacaran.
Pelaku Femicide sebagian besar adalah orang-orang yang dikenal, orang dekat, baik pacar, kawan kencan, suami, pelanggan, dan lainnya. Pola femicide-nya juga sadis dan tidak masuk akal, korban dimasukkan dalam koper, dibuang di bawah jalan tol, terjadi di tempat kost atau hotel dengan kondisi jenazah dihukum secara seksual, dibunuh dalam keadaan hamil, dibuang ke lumpur, jurang dan lainnya.
Komnas Perempuan mencatat 5 kasus pengaduan femicide yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan, kemudian melalui penelusuran kliping di media di tahun 2017 saja, ada sekitar 15 kasus pembunuhan perempuan, termasuk dr. L. Di tahun 2016 kasus-kasus yang mencuat antara lain kasus pembunuhan dan perkosaan berkelompok YY di Bengkulu, kisah korban yang diperkosa lalu dibunuh dengan gagang cangkul menancap di vagina korban, pembunuhan dan kekerasan seksual kepada F anak 9 tahun di Kalideres, Pembunuhan korban yang dibuang dalam kardus di bawah jalan tol, pembunuhan (mutilasi) ibu hamil di Tangerang karena relasi personal janji nikah (eksploitasi seksual).
Pelapor Khusus PBB untuk VAW (Violence Against Women), Dubracka Simonovic, pada tahun 2015, telah menyerukan kepada dunia agar setiap negara membuat femicide watch atau gender related killing of women watch, dan meminta agar data-data tersebut harus diumumkan setiap tanggal 25 November pada Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Data WHO menyebutkan di seluruh dunia 37% pembunuhan perempuan dilakukan oleh intimate partner: suami, pacar, mantan suami, mantan pacar.
Melihat banyaknya kasus femicide yang sudah terjadi maka Komnas Perempuan mempublikasikan beberapa point himbauan. Pertama, POLRI harus siaga penuh untuk menjaga dan menjamin keamanan pelapor atau perempuan yang terindikasi terancam jiwanya. Kedua, untuk menghindari viktimisasi pada korban media harus menjaga integritas korban dan keluarganya pada setiap pemberitaannya. Ketiga, masyarakat, termasuk keluarga besar, tempat kerja, organisasi, lembaga pendidikan untuk menjadi bagian dari pencegahan dan perlindungan berbasis komunitas. Keempat, pemerintah harus melakukan pendataan yang serius terhadap femicide sebagai acuan agar bisa diambil langkah sistematik untuk pencegahan dan penanganan lebih lanjut.
Penghentian femicide adalah tanggung jawab bersama antara negara dan masyarakat Indonesia. Mari kita semua turut ambil bagian dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan!
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)