Perempuan Harus Mengerjakan Semua Pekerjaan Rumah Tangga?
- Post AuthorBy Hanajime Gandis
- Post DateThu Oct 12 2017
Stereotype yang berkembang di masyarakat adalah jika anak perempuan tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga, maka dia harus rela dicap pemalas. Agaknya, acuan ini kurang relevan, karena mereka berhak melakukan aktivitas lain.
Misalkan saja dia punya hobi. Kalau mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, kapan bisa menyalurkannya? Jika tergabung dalam komunitas dan jadwal pertemuannya pagi, apa tetap harus? Itu melelahkan dan bagaimana bisa seseorang menghadiri pertemuan dengan wajah lesu?
Atau, jika spesifik hobi itu menulis. Setiap orang mempunyai saat favorit dalam melakukannya. Lantas, jangan bebani pekerjaan rumah tangga di pagi hari, semisal itu waktu pilihan. Biarlah dia melakukannya siang atau sore, saat tidak menulis. Melakukan pekerjaan otak, lalu fisik. Bisa membayangkan bagaimana energi terkuras?
Dari semua pekerjaan rumah tangga, mencuci baju dan menyetrika adalah yang paling melelahkan. Aktivitasnya sendiri tidak berat, tapi bagaimana jika seluruh anggota keluarga membebankan milik mereka?
Jika anak perempuan tersebut memiliki adik, sebaiknya orangtua mengajarkan si bungsu untuk membantu. Buang jauh-jauh anggapan anak terakhir harus dimanjakan.
Berbeda lagi jika si bungsu masih kecil, sehingga pekerjaan rumah tangga itu tidak bisa dia lakukan. Maka, sebagai ibu, mengalahlah untuk membantu. Misal dia menyelesaikan punya dirinya sendiri dan adik, sementara sisanya ibu yang melakukan. Bagaimana, beban tetap terkurangi, kan?
Ibu memang melahirkan anak dan merawatnya sampai besar. Namun, bukan berarti bentuk timbal balik itu dengan cara memeras tenaga secara berlebihan. Malahan, akan terkesan merenggut hak asasi atau katakanlah kehidupan anak.
Selagi masih muda, biarkan dia berkarya. Toh kalau kelak jadi ibu, kewajiban melakukan pekerjaan rumah tangga akan dia emban.
Hal penting lain untuk para ibu, jangan pernah marah kalau pekerjaan rumah tangga belum selesai. Itu tandanya dia jenuh, apalagi saat liburan sekolah atau kuliah yang sampai berbulan-bulan. Alamiah bukan kalau remaja butuh hiburan? Sekali lagi, jangan penjarakan mereka dalam beban tersebut.
Atau, sangat hindari berkata kalau dia tidak melakukan apa-apa, padahal sisa pekerjaan rumah tangga tidak sedikit. Tahukah ibu, bagi mereka dengan tangan kulit sensitif, aktivitas tersebut membuat lecet dan perih. Meski mungkin melakukannya dengan ikhlas, tidakkah itu menyakitkan hati? Bekerja keras, tapi tidak ada penghargaan di situ.
Pandangan setiap ibu memang berbeda. Pertahankan itu, jangan tepengaruh orang lain. Misal ada tetangga ke rumah, lalu berkata pada anak perempuan bahwa pekerjaannya masih banyak, disertai nada mengolok bahwa dia pemalas, sih. Bela anakmu! Ikut-ikutan menyuruhnya melakukan itu sama saja mengiyakan pendapat tetangga, padahal tahu sendiri anakmu punya agenda lain dengan urusannya. Lawan stereotype dan jadilah pihak minoritas demi kebaikan.
Ibu beruntung bukan ibu yang memiliki anak perempuan rajin dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, tapi yang memiliki passion, terlebih lagi bakat tertentu.
Ibu, tugas seorang anak bukan hanya melakukan pekerjaan rumah tangga, tapi lebih besar dari itu. Merawatmu kelak saat renta. Menyisihkan pendapatan mereka untuk kebutuhanmu. Itu timbal balik yang sesungguhnya.
Satu lagi, ibu bahagia bukan ibu yang bisa bersantai seharian, sementara anaknya kelelahan. Melainkan melihat anaknya berkembang. Jika anakmu di rumah dalam waktu lama, karena menunggu panggilan kerja, pengumuman beasiswa, atau alasan lainnya, ubah pikiran kalau semua tugas bisa dialihkan. Tetaplah berbagi. Biarkan dia leluasa melakukan suatu hal dalam masa menunggu itu.
Di dalam kamus bahasa manapun, definisi anak bukanlah seseorang yang dibebani berbagai pekerjaan rumah tangga.
Wanita memang erat kaitannya dengan pekerjaan rumah tangga, tapi itu tidak bisa sepenuhnya berlaku bagi anak perempuan. Mereka punya hak lain atas hidupnya. Memperalat tenaganya sedemikian rupa hanya akan menguntungkan satu pihak, sementara akibat dari itu cukup serius.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)