Perempuan Pelaku KDRT?
- Post AuthorBy Eva SR
- Post DateFri Oct 13 2017
Perempuan sebagai korban kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mungkin sudah tak asing di telinga kita. Data dari Komnas Perempuan menyebutkan, sepanjang tahun 2016 telah terjadi 5.784 kasus kekerasan terhadap istri dan 1.799 kasus kekerasan pada anak perempuan di Indonesia.
Meski demikian, kaum perempuan sebetulnya justru sangat rentan menjadi pelaku KDRT. Bukan secara fisik, melainkan psikis melalui kekerasan verbal. Hasil penelitian menunjukkan, kebutuhan bicara perempuan mencapai 20.000 kata per hari –hampir tiga kali lipat dibanding laki-laki yang hanya berkisar 7000 kata–. Kebutuhan bicara yang banyak ini, secara tak langsung tentu memberi peluang lebih besar bagi perempuan untuk “keseleo lidah”.
Perempuan mungkin berpikir, lebih baik mengomel dibanding memukuli anak. Namun adalah sebuah kekeliruan besar jika kita menyepelekan efek kekerasan verbal. Kata-kata juga bisa menimbulkan sakit seperti halnya pukulan fisik. Bahkan, pada orang-orang tertentu, tekanan batin akibat kata-kata itu terasa lebih berat dari kekerasan fisik.
Perempuan –khususnya ibu–, terkadang tanpa sadar melontarkan kalimat-kalimat menyakitkan ketika tengah emosi pada anak. Padahal, efek yang ditimbulkan oleh kekerasan verbal bagi anak akan jauh lebih membekas daripada cinta yang diterima.
Pada kekerasan fisik, luka memar akan dapat sembuh dengan sendirinya, tapi luka hati tak dapat sembuh dengan mudah. Butuh waktu panjang agar seseorang dapat bangkit dari tekanan emosionalnya.
“Dasar anak setan!”
“Anak tak tahu diuntung kamu!”
“Suami tak berguna!”
“Laki-laki macam apa?!?!?!”
Dear ladies,
Coba ingat-ingat lagi, berapa banyak sudah kalimat negatif yang melecehkan harga diri suami dan anak tanpa sengaja terlontar saat sedang dipenuhi amarah? Kalimat yang tanpa sadar lebih banyak menyerang pribadinya ketimbang fokus membantunya memperbaiki kesalahan.
Ketahuilah, menjatuhkan mental pasangan dan anak bertubi-tubi justru akan membuat mereka memercayai bahwa mereka memang seburuk itu. Bukannya sadar akan kesalahan, yang ada kepercayaan diri mereka yang justru perlahan hilang dan mengikis energi positif yang ada.
Mungkin pasangan dan anak memang tidak akan melaporkan pada polisi atas omelanmu. Namun pikirkanlah efeknya. Rasa depresi, putus asa, dan kesedihan berlarut-larut bisa saja membunuh seseorang perlahan-lahan.
Lalu, apakah ini artinya perempuan tidak boleh mengomel?
Ya boleh saja. Sah-sah saja kok. Hanya saja, selalu bijaklah memilih kosakata yang digunakan. Selalu jaga lisanmu agar jangan sampai melukai orang-orang yang dicintai.
- Post Tags#kdrt#kekerasan#rumah#tangga
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)