Perempuan-Perempuan Bekerja yang Cemas dengan Kodrat Sebagai Ibu
- Post AuthorBy Kalis Mardiasih
- Post DateTue Mar 13 2018
Ada banyak perempuan yang dengan senang hati berhenti menjalani studi atau meninggalkan pekerjaan karena alasan menikah atau ikut suami. Ada banyak perempuan yang meninggalkan dua hal itu dengan sedikit mengenang prestasinya, tetapi tetap tak ingin menyesal, sebab pada akhirnya ia pikir bagaimana pun, patuh kepada suami dan membuat keluarga tetap stabil adalah pilihan terbaik. Ada banyak perempuan yang mendapat kebebasan dari suami untuk tetap bekerja, tetapi dalam keseharian diliputi rasa tak tenang sebab dibelenggu perasaan bersalah karena tidak menjadi ibu yang baik.
Rebecca Thomas (Juliette Binoche) adalah satu dari lima jurnalis foto terbaik di dunia. Pada liputan terakhirnya di Kabul, ia hampir mati karena nekat mengambil jarak terdekat dari seorang pelaku bom bunuh diri yang mengatasnamakan jihad. Marcus (Nikolaj Coster-Waldau) , suaminya, meminta Rebecca memilih, antara pekerjaan sebagai jurnalis daerah konflik atau kembali bersama-sama keluarga.
Film A Thousand Times Good Night karya Erik Poppe sebetulnya tidak harus dibahas dari sudut pandang gender. Marcus bukanlah suami yang represif apalagi opresif, lebih-lebih, ia juga menjalankan peran pengasuhan dengan baik. Marcus merawat Steph (Lauryn Canny) dan adiknya, Lisa, ketika Rebecca pergi liputan antarnegara. Alasan Marcus meminta Rebecca berhenti memotret juga alasan yang sangat masuk akal: meliput di daerah konflik sering membahayakan nyawa Rebecca dan Marcus beserta anak-anaknya tidak kuat dengan rasa ketakutan dan was-was yang meliputi mereka terus menerus.
Akan tetapi tetap saja situasi semacam itu meninggalkan sebuah dilema.
Kita tak dapat memungkiri fakta bahwa sebagai sosok, Rebecca adalah seorang perempuan yang punya hasrat dan dedikasi penuh pada pekerjaan. Hal itu nampak dalam dialog antara Rebecca dengan Steph. Steph bertanya soal situasi kemanusiaan di Kongo dan kenapa sang Ibu begitu ambisius pada pekerjaan yang membahayakan nyawanya. Rebecca lalu berkisah tentang situasi dunia yang timpang, tentang satu pihak yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam semata-mata demi keuntungan, tanpa mengembalikan sedikit pun keuntungan itu pada penduduk asli. Bahkan, penduduk asli dibiarkan kelaparan, diadu domba sehingga terjadi perang saudara, atau dibiarkan menikmati kebodohan.
Rebecca bercerita bahwa ia kesal dengan media arus utama yang lebih senang memberitakan Paris Hilton yang keluar dari mobil tanpa celana dalam ketika situasi kemanusiaan di Afrika dan Timur Tengah tengah dilanda krisis.
“I want people to choke on their coffee and see and feel and react.” Tutur Rebecca pada Steph.
Pekerjaan Marcus adalah peneliti biota laut, yang sesungguhnya juga cukup beresiko. Sayangnya, A Thousand Times Good Night tidak memberi penjelasan akan pilihan Marcus pada hobi dan pekerjaan. Rebecca memilih untuk tetap pergi liputan karena panggilan jiwa jurnalis yang begitu hebat. Tetapi di akhir film, tampak Rebecca bersimpuh tak kuat ketika akan memotret seorang anak Muslim di Kabul yang dipasangi bom di sekujur tubuhnya tengah bersiap berangkat untuk doktrin jihad. Naluri paling dasar Rebecca, di ujung cerita itu, seolah terbawa kembali kepada keluarga yang telah ia korbankan.
Di mata saya, bagaimana pun, baik Rebecca maupun keluarga telah membuat pilihan sadar, meskipun hasilnya bukan hasil terbaik.
Di sekitar kita, terdapat lebih banyak kasus sejenis yang terjadi karena laki-laki yang takut jika pendapatannya tidak lebih besar dari istri, atau laki-laki yang malu karena jabatannya tidak lebih tinggi dari istri. Maklum, dalam bentuk yang paling tradisional, konstruksi sosial semacam itu telah dibangun selama berabad lamanya. Laki-laki sebagai kepala keluarga adalah agensi produksi utama, sedangkan perempuan adalah penjaga gawang domestik sekaligus penanggung jawab pengasuhan utama. Biasanya, pendapatan laki-laki yang tak mencukupi memerlukan tambahan pemasukan dari perempuan, tetapi si perempuan memilih tidak mengambil posisi di sektor publik. Perempuan tipe ini, biasanya membuka toko, berdagang. Yah, apa pun bentuk yang mensahihkan sebutan penghasilan “tambahan”, bukan yang “utama”.
Diskusi perihal keterkaitan pola kepemimpinan dalam keluarga masih dianggap tabu untuk dibahas. Rasa hormat kepada laki-laki sebagai kepala keluarga terbentuk dari alasan yang begitu rapuh, yakni agensi ekonomi. Hal ini sering melatarbelakangi berbagai kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ketika suami merasa lebih berdaya dari perempuan. Dan sebaliknya, ketika laki-laki terhimpit kondisi yang menyebabkan dirinya tidak lebih produktif dari perempuan, sang istri merasa boleh untuk tidak lagi menaruh hormat.
Saya penasaran untuk memulai diskusi sederhana, bahwa mestinya, pengaturan peran dalam keluarga tidak boleh dibentuk dari mindset serapuh urusan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Laki-laki sebagai suami dan Bapak dan perempuan sebagai istri dan Ibu, mestinya ditempatkan sebagai manusia utuh dalam keluarga. Dengan itu, terkadang laki-laki dapat menjadi penentu keputusan pada kasus tertentu, dan perempuan pun dapat menjadi penentu keputusan pada kasus tertentu pula.
Membendung nyinyiran tetangga memang persoalan berat, tetapi jika keluarga kita baik-baik saja, peduli apa pada dunia?
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)